9. Satu Kesepakatan

1.3K 102 1
                                    

"Oke, Tam. Aku emang tinggal di tempat kamu kan. Tapi, yang namanya udah nikah ... ya wajar dong kalau istri tinggal di rumah suami. Mana yang wajar, istri tinggal di rumah suami atau suami tinggal di rumah istri?" tanya Eshika. "Kalau kamu ngerasa gimana gitu karena aku tinggal di sini, silakan. Kamu telepon Mami aku, terus bilangin deh kalau kita mau tinggal di rumah aku yang udah disewakan itu."

Kedua tangan Tama bersidekap. "Ketahuan kan kalau kamu emang ngebet buat tinggal bareng aku."

Lidah Eshika terjulur, mengejek. "Bukan karena aku ngebet. Tapi, karena I have no choice."

Cowok itu mengembuskan napas panjang. "Oke. Kalau gitu manusiawi dong ya kalau urusan rumah kamu yang ngurus?"

"Eh?"

"Dari nyapu, ngepel, masak, nyuci baju, nyuci piring, dan semua-semuanya."

Eshika melongo. "Istri bukan pembantu."

"Mau jadi istri durhaka heh? Orang aku sebagai suami udah nih ngasih rumah sebagus ini. Di mana lagi coba kamu bisa nemuin suami yang udah cakep eh ... bertanggung jawab lagi?" tanya Tama. "Atau kita perlu nelepon Mami buat nanya soal ini?"

Eshika mengatupkan mulutnya rapat-rapat. "Kamu ngancam aku?"

"Kayak yang kamu nggak ngancam aku aja pas di warung bakso tadi," cibir Tama. "Gimana?"

Mendengus, Eshika menulis hal-hal yang disebutkan Tama tadi sebagai kewajiban Eshika. Lalu, otak Eshika memikirkan sesuatu.

"Kalau aku harus jadi istri yang baik, berarti kamu juga dong ya."

"Apa?"

"Aku minta nafkah tiap bulan!" tukas Eshika.

"Heh?"

"Kamu punya distro, Tam. Itu penghasilan sebulannya berapa coba? Banyak kan anak-anak yang belanja di sana?" Eshika sok berpikir seraya mengusap-usap alisnya. "Yah ... ternyata kamu nggak buruk-buruk amat jadi suami. Dari kapan ya kamu punya itu distro? Setahun yang lalu? Setahun setengah?"

Tama menarik napas dalam-dalam. "Aku cuma nyiapin duit belanja dapur aja."

"Enak aja." Eshika menunjuk-nunjuk Tama dengan pena di tangannya. "Deterjen, sabun cuci piring, pengharum pakaian, pengharum lantai, sabun mandi, shampoo, pasta gigi, dan banyak lainnya." Mata Eshika menatap Tama dengan tatapan sok lugu. "Itu semua bakal dibeli pake duit siapa? Masa duit istri???"

Geraman terdengar dari bibir Tama ketika Eshika menekankan kata istri di perkataannya.

"Mau gitu harga diri suami jatuh di mata istri???" Ehika nyaris terkikik karenanya. "Ini harus menguntungkan dua belah pihak, Tam. Aku nyumbang tenaga, ya kamu nyumbang materi. Coba pikir, kalau kamu laundry, makan di luar, dan yang lain-lainnya, kamu bakal ngabisin duit lebih banyak dari yang kamu perkirakan. Dan makanan di luar juga belum tentu terjamin rasa dan kebersihannya."

"Kamu mau nyoba memanipulasi aku heh?"

"Eh ... ternyata kamu nyadar," kata Eshika akhirnya melepaskan kikikan gelinya.

"Untuk urusan dapur dan yang lainnya," kata Tama memicingkan mata, "aku yang bakal belanja."

Bibir Eshika mencibir. "Suka-suka kamu. Eh, tapi paling nggak ya kamu beliin aku skincare dong."

"Enak aja."

"Aku bilangin Mama, Tam."

Lagi-lagi, Tama menggeram. "Nah kan! Kamu ngancam aku lagi."

"Hahaha." Eshika tak menghiraukan geraman Tama dan menuliskan poin tadi di bagian kewajiban Tama. "Tenang aja. Aku nggak minta jajan kok. Cuma skincare aja. Hahaha."

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang