66. Tak Disangka

888 76 0
                                    

Tama menyilangkan kedua tangannya di bawah kepala. Dengan satu kaki yang berpangku di atas satu lututnya yang ditekuk, cowok itu terlihat memandangi langit-langit kamarnya.

Ehm ....

Sepertinya Tama sedang berpikir. Atau menikmati rasa kenyang karena makan malam yang masih begitu terasa di perutnya?

Oh, ternyata Tama memang sedang berpikir. Tepatnya adalah ia tengah teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu ketika Alex dengan terang-terangan memprovokasi dirinya di pintu kelas. Kemaren sih murni, Tama memang tidak tersulut emosi karena perbuatan Alex yang satu itu dan justru menganggap hal itu seperti tingkah anak kecil saja. Tidak layak untuk dipikirkan sama sekali. Tapi, sekarang entah mengapa alarm waspada Tama mendadak berdering. Seakan-akan membuat ia untuk bersikap berhati-hati.

Tama mengembuskan napas panjang. Lalu menghirupnya dengan perlahan.

Sejurus kemudian, menarik satu tangannya dari posisinya semula, Tama meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya. Nyaris berada di bawah bantal lainnya. Tama membuka aplikasi kalender di sana. Melihat tanggal-tanggal yang berjajar rapi di sana.

Ehm ....

Cowok itu mendehem pelan. Melihat bahwa sekarang telah berganti bulan dan itu artinya waktu ia sudah semakin mendekat. Antara hari ulang tahun Eshika dan jadwal untuk jalan-jalan ke Puncak.

Alex nggak mungkin nyiapin sesuatu untuk meluluhkan Eshika kan di Puncak ntar? Pesta kembang api gitu atau apalah ya yang biasa dimanfaatkan cowok untuk menyentuh perasaan cewek. Ehm ... bukannya aku takut kalah saing atau gimana, cuma ya tetap aja nggak enak.

Kalau ingin menurutkan logika sumbu pendeknya, cowok itu ingin sekali membatalkan kepergian ia dan Eshika. Toh, kalau memang mau mereka bisa pergi ke Puncak kapan pun mereka mau. Tapi, ia takut itu justru menimbulkan kecurigaan teman-teman mereka.

Kok bisa Eshika dan Tama kompak nggak ikut?

Apakah ada sesuatu di antara mereka?

Yah, bukannya apa. Terkadang orang-orang memang hebat sekali dalam mencocok-cocokkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya hingga melahirkan satu kesimpulan yang siap untuk mengguncang dunia beserta seisi-isinya. Entah mengapa kadang untuk menimbulkan gosip, orang-orang mendadak jadi pintar semua. Tiba deh disuruh mengerjai tugas dari guru, bodohnya semua yang muncul.

Dan Tama bagaimana pun juga tidak ingin hal seperti itu terjadi. Ia hanya ingin hidup berdua dengan Eshika dalam kedamaian dan ketenangan. Sama sekali tidak ingin hidup di dalam pusaran gosip dan berita-berita seperti yang ia alami dulu. Kalau Tama renungkan sekarang, hal seperti itu benar-benar melelahkan.

Bahkan kalau mau dipikir-pikir lagi, Tama akhirnya menyadari juga bahwa menjalani hari-hari bersama Eshika tanpa ada orang yang mengetahui kehidupan asli mereka merupakan hal yang bagus. Terasa bahwa hal tersebut membuat ia merasa lebih nyaman. Tidak perlu mendengar komentar-komentar orang karena bagaimana pun juga setiap hal selalu akan menyulut pro dan kontra. Tapi, mengingat tak ada yang mengetahui hubungan mereka, Tama menganggap itu membuat mudah semuanya berjalan. Tidak ada campur tangan orang yang merasa lebih tau kehidupan mereka dibandingkan dengan mereka sendiri.

Tapi, masalahnya sekarang ada satu. Ketidaktahuan orang-orang akan hubungan mereka membuat orang keras kepala dan tidak tau malu sebangsa Alex terus berusaha untuk mendapatkan Eshika.

Nah, ini yang membuat Tama gusar.

Ehm ....

Mungkin akan lebih baik kalau Eshika sampe ngebanting kursi di depan Alex. Yah kayak yang aku lakuin ke Tere dan Laura. Lihat deh! Semenjak itu jangankan Tere dan Laura, semua cewek-cewek yang digosipkan mau sama aku jadi pada bubar teratur semua. Seorang pun nggak ada lagi sekarang.

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang