35. Keributan

987 83 1
                                    

"Tok! Tok! Tok!"

"Tam ...."

"Tama ...."

Tama melenguh panjang. "Ehm ...."

"Tam? Kamu udah bangun belum sih?"

Mata Tama membuka. Tampak menatap kosong ke sekeliling. Mengangkat tubuhnya yang tidur tengkurap di atas bantal yang ia peluk erat, Tama butuh waktu beberapa detik untuk mengumpulkan kesadarannya yang masih tercerai-berai.

"Ehm ...."

"Tam?"

Tama menoleh ke pintu. Mendengarkan dengan saksama bahwa itu adalah suara Eshika.

"Eshika ...," lirihnya pelan. "Eshika?" Dahinya mengernyit. "Kenapa anak itu?"

Dengan lemas, Tama pada akhirnya beranjak ke pintu. Membukanya dan menyipitkan mata saat melihat Eshika telah rapi berdiri di depan pintu. Sedangkan Eshika terbengong-bengong melihat Tama.

"Ya ampun, Tam."

"Kenapa, Esh?" tanya Tama dengan wajah kantuknya.

Eshika melotot tak percaya mendengar pertanyaan Tama. "Kamu bilang kemaren kamu hari ini udah mau sekolah," kata Eshika. "Tapi, kok kamu belum siap-siap sekarang? Malah baru bangun tidur? Yang bener aja, Tam"

Tama menepuk dahinya. Baru menyadari hal itu. Tapi, bagaimana lagi ya. Nyatanya memang seperti itu. Ia bahkan baru bangun tepat ketika Eshika menggedor pintu kamarnya.

Cowok itu kemudian menutup mulutnya ketika menguap sekilas. "Kayaknya aku hari ini belum masuk deh, Esh. Tanggung."

"Tanggung?" Mata Eshika semakin membesar. "Kemaren juga sok-sok mau jadi pelajar disiplin."

Tama nyengir. Ia menggaruk kepalanya. "Tanggung ngotorin seragam sekolah, Esh." Kali ini mata Tama telah melihat dengan jernih. "Ngerepotin kamu nyuci ntar."

Bibir Eshika manyun. "Bilang aja kamu memang belum mau sekolah."

"Sesekali aku masih ke toilet, Esh. Biar ntar pas aku udah sembuh beneran deh aku ke sekolah lagi," ujar Tama membela diri. "Daripada ntar aku jadi sakit lagi gara-gara maksain diri padahal belum sembuh beneran. Kan yang repot ntar kamu lagi."

"Ehm ...," dehem Eshika dengan intonasi kecurigaan.

"Aku tuh cuma nggak mau buat kamu repot, Esh. Beneran deh." Tama tersenyum. "Ya?"

Eshika menimbang sejenak. Seraya bersidekap, ia sedikit menoleh ke arah dapur. "Ya udah kalau gitu. Itu sarapan kamu udah siap di meja."

Tama mengangguk."Makasih banyak, Esh."

"Aku pergi dulu," kata Eshika. "Kamu istirahat aja."

Tama mengangguk lagi dengan patuh.

"Nanti kalau ada apa-apa, hubungi aja aku."

"Aman," kata Tama.

Sejurus kemudian, Tama hanya berdiam diri sejenak di ambang pintu kamarnya. Melihat Eshika yang kemudian pergi. Hingga suara pintu unitnya yang terkunci menjadi tanda kalau gadis itu telah pergi.

Menguap, seraya mengusap perutnya, Tama berjalan perlahan menuju ke dapur. Sesampainya di meja makan, ia menghirup aroma sarapan yang telah disediakan oleh Eshika.

Menarik kursi, ia duduk bertopang dagu melihat sepiring nasi goreng, beberapa iris buah-buahan, dan segelas susu hangat yang telah tersaji dengan rapi dan tanpa cela. Tanpa sadar membuat Tama menggumam rendah.

"Ini pasti di kehidupan sebelumnya aku menyelamatkan dunia dari Perang Rudal deh ya. Mendadak nasib aku seenak ini. Hahahaha. Udah nggak sekolah, disuruh istirahat, eh disiapkan makanan bergizi. Ckckckck. Tau kayak gini, sebenarnya nikahi Eshika juga nggak buruk-buruk banget sih."

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang