52. Rasa Khawatir

988 73 0
                                    

Eshika menggigit bibir bawahnya berulang kali. Tangannya terangkat, bersiap untuk mengetuk pintu kamar Tama. Tapi, tangan itu terjatuh lagi.

Argh!

Gimana ya?

Tama masih marah nggak ya sama aku? Tapi, kalau ingat yang malam tadi kayaknya sih dia udah nggak marah lagi.

Menarik napas dalam-dalam, Eshika kembali mengangkat tangannya. Tapi, kembali terjatuh. Dan hal itu terjadi berulang kali hingga membuat Eshika kesal sendiri pada dirinya. Walau sebenarnya bisa dimaklumi. Tentu saja karena kejadian pagi kemaren, maka Eshika menjadi takut-takut untuk berhadapan dengan Tama.

Beberapa saat kemudian, ketika tangan Eshika kembali terangkat maka di saat itulah pintu kamar Tama terbuka. Mereka saling menatap. Sekilas Eshika bisa melihat bagaimana Tama telah mengenakan seragam sekolahnya. Setidaknya itu menunjukkan bahwa hari itu Tama akan pergi sekolah.

"Tam," kata Eshika cepat-cepat. Ia takut kalau mendadak Tama akan kembali kabur dari dirinya. "Aku udah nyiapin sarapan buat kamu di dapur."

"Nggak usah, Esh."

"Aku pergi," kata Eshika kemudian. "Kalau kamu nggak mau makan bareng aku, nggak apa-apa. Tapi, seenggaknya dimakan. Nanti kamu sakit kalau pergi ke sekolah nggak sarapan. A-a-aku juga udah kok makannya. Ini aku udah mau pergi ke sekolah."

Tatapan mata Tama jatuh pada sepasang kaki Eshika yang sudah mengenakan sepatunya. Dan seakan tak ingin mendengar penolakan lagi dari Tama, Eshika kembali berkata.

"Jangan lupa dimakan, Tam. Nggak baik buang-buang makanan. Aku pergi dulu. Bye."

Lantas Tama mendapati Eshika yang segera mengambil langkah seribu. Pergi meninggalkan dirinya yang untuk sejenak hanya termenung di tempatnya. Pada akhirnya, Tama memutuskan untuk pergi ke dapur dan mendapati sarapan di atas meja makan.

Tama menarik kursi. Duduk di sana.

Dan ketika Tama berusaha menikmati sarapannya, ia mendapati tenggorokannya terasa tercekat parah. Matanya seakan memanas.

Tanpa disadari, walau baru beberapa hari, nyatanya setiap saat semenjak ia menikah dengan Eshika, ia selalu melewati waktu makan berdua dengan gadis itu. Bahkan di saat sakit pun Eshika dengan begitu perhatian menyuapi dirinya makan.

Tama meringis.

Yah walaupun hal itu karena sedikit kebohongan.

Tama menarik napas.

Ya ampun, Esh.

Gimana ceritanya aku dan kamu tinggal satu rumah dan kita ketemu tiap saat, tapi aku justru kangen sama kamu?

Tama nyaris benar-benar tidak bisa menghabiskan makanan itu.

Esh ..., aku kangen kamu.

*

Velly mencolek pipi Eshika.

Membuat gadis itu tersentak dari lamunannya.

"Kamu mikirin apa pagi-pagi gini?" tanya Velly dengan senyum menggoda di wajahnya. "Kok bisa buat kamu senyam senyum nggak jelas gini sih?"

Eshika mengulum senyumnya. Menggeleng kecil. "Nggak ada kok, Vel."

"Ehm ...." Velly mendehem dan menyipitkan matanya. Merasa ada yang berbeda dari gelengan Eshika. "Kok aku yang kayak nggak percaya ya?"

"Apa sih?"

Velly mencondongkan tubuhnya pada Eshika. "Jujur deh. Kamu lagi mikirin apa? Atau kamu lagi kenapa?"

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang