54. Pengakuan Perasaan

1.1K 76 0
                                    

Jadi sebenarnya sih Tama walau tidak benar-benar marah pada Eshika, tetap saja ia merasakan emosi negatif terhadap gadis itu. Jelas yah penyebabnya kenapa. Tapi, ketika ia mendapati Eshika meringkuk padanya. Merebahkan diri di atas dadanya. Dan berkata dengan begitu manja pada dirinya ... ya ampun. Efeknya langsung terjadi pada Tama dalam sekejap mata. Semua emosi negatif itu langsung lenyap seketika. Hilang tanpa tersisa. Musnah tanpa jejak. Dan malah sekarang yang ada justru rasa bersalah karena Tama menyadari ternyata kemarahan dan sikapnya itu membuat Eshika benar-benar tertekan sehingga berakibat pada sakitnya ia. Jadi, ya spontan saja Tama kemudian justru meminta maaf pada gadis itu.

"Maaf ya, Esh. Aku nggak marah lagi kok."

Mendengar itu, Eshika mengangkat wajahnya. Menatap Tama. Berupaya untuk mencari kebenaran di mata Tama.

"Benar? Kamu nggak marah lagi ke aku? Nggak bohong kan, Tam" tanya Eshika ingin meyakinkan dirinya.

Tama membawa tangannya untuk mengusap kepala Eshika. Mengangguk dan tersenyum dengan lembut. "Iya ... nggak marah lagi. Beneran deh. Asalkan kamu nggak dekat-dekat dengan Alex lagi."

Eshika terdiam beberapa saat mendengar perkataan Tama. Tangannya terdiam di atas dadá kiri Tama. Merasakan debar jantung cowok itu di sana.

"Kamu segitunya nggak suka ngeliat aku dekat dengan Alex ya?" tanya gadis itu kemudian.

Bola mata Tama tampak bergerak-gerak ke kanan ke kiri berulang kali sebelum kembali menatap Eshika. Terlihat berusaha berpikir sejenak untuk memberikan jawaban terbaiknya untuk pertanyaan itu.

"Memang." Tama memutuskan bahwa menjawab dengan jujur adalah pilihan yang terbaik. Dan dengan contoh yang mengikutinya, tentunya. "Sama seperti kamu yang nggak suka ngeliat aku dekat sama Tere," kata Tama kemudian. "Aku juga nggak suka ngeliat kamu dekat dengan Alex. Kamu ngerti kan?"

"Ehm ...." Eshika mengangguk sekali. Lalu ia merebahkan kembali kepalanya di dadá Tama. Merasakan bagaimana dadá Tama naik turun dengan irama yang teratur ketika menarik dan mengembuskan napasnya. "Sebenarnya aku juga nggak mau dekat-dekat dengan Alex lagi loh, Tam. Aku aja nggak suka kalau dia mendadak ngedeketin aku tuh."

Tama menurunkan tatapannya. Merasakan bagaimana Eshika menarik napas panjang ketika berkata. Sementara jemarinya terasa menarik bedcover untuk semakin erat menutupi tubuh mereka.

Pelan-pelan Tama menarik napas. Bagaimana pun juga, memakai selimut di siang hari tentu menyiksa buat orang yang sehat. Tapi, apa pun akan Tama tahan demi bisa menghangatkan Eshika.

Kepanasan mah cuma masalah kecil. Kebakaran juga nggak apa-apa asal Eshika nggak kedinginan lagi.

"Kalau memang nggak mau," kata Tama kemudian, "kenapa malam itu kamu lebih milih buat ngobrol sama dia ketimbang balik sama aku?"

Eshika menarik napas dalam-dalam. Benaknya berpikir, mungkin saat itulah yang tepat untuk menjernihkan masalah di antara mereka. Berbicara dengan pelan tanpa ada yang emosi dan berteriak. Jujur saja, Eshika tidak ingin lama-lama mendapati sikap Tama yang dingin padanya.

"Aku tau dia masih suka sama aku ...."

Deggar!

Heran deh ya.

Panas-panas gini kok mendadak ada petir yang menyambar?

Tama menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menahan emosi yang entah dari mana asalnya, eh mendadak saja datang membuncah di dalam dadanya. Membuat ia merasa bagai sesak napas saat itu. Seperti ada yang mendobrak-dobrak di dalam sana. Bersiap untuk meledakkan jantungnya.

Sabar, Tam, sabar.

Ini istri kamu lagi sakit dan berusaha ngomong baik-baik, jangan langsung nuruti emosi aja. Itu logika dipake sebentar aja. Dengerin dulu apa yang mau Eshika omongin, baru abis itu tarik kesimpulannya.

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang