69. Pilihan

772 72 0
                                    

"Tapi, itu tadi sebenarnya berisiko banget loh, Tam," kata Eshika seraya tertawa-tawa. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin.

Dan mendengar perkataan Eshika, Tama juga mau tak mau ikut tertawa bersamanya. Cowok itu mengambil dua gelas bening dengan kedua tangannya. Menyodorkan keduanya pada Eshika.

"Emang sih," katanya seraya membiarkan Eshika mengisi kedua gelas itu sebelum memasukkan kembali botol itu ke dalam kulkas.

Eshika mengambil satu dari gelas itu. Beranjak ke meja makan dan duduk. Tama mengikuti. Duduk di hadapannya.

Setelah meneguk minumnya beberapa tegukan, Tama berkata. "Tapi, aku nggak nyangka aja sih kamu bisa ngomong kayak gitu di depan kelas." Tama meletakkan gelasnya. Bertopang dagu dengan kedua tangan. Menatap Eshika. "Beneran di luar prediksi aku."

Eshika terlihat merona. Pelan-pelan meletakkan gelas itu di meja pula. "Soalnya gimana ya, Tam. Aku memang nggak mau juga bareng Alex."

Ah ...

Andai omongan ini bisa aku rekam, udah aku rekam dong. Terus aku kirim ke Alex. Via Whatsapp, Gmail, Ig, Fb ... kalau perlu, aku masukin juga ke flashdisk dan aku suruh kurir buat ngirim ke rumah Alex. Biar dia tau kan pilihan Eshika itu gimana.

Lalu, helaan napas Eshika terdengar menyadarkan Tama dari idenya itu.

"Apalagi setelah kejadian di bioskop itu." Eshika bergidik. "Aku nggak mau deket-deket sama cowok kayak gitu lagi."

Tama menyentuh sedikit rambutnya yang bertengger di atas dahinya. Sedikit lengket karena keringat. Tapi, ia tersenyum miring seraya berkata.

"Emang wajar banget kamu nolak cowok semacam itu, Esh."

Hahahaha.

"Tapi," kata Eshika. "Aku nggak nyangka juga sih kalau akhirnya Reki mau bawa mobil sendiri."

Tama sedikit manyun. "Itu anak sebenarnya sedikit alergi AC mobil. Hahahaha. Aku malah khawatir. Jangan-jangan ntar dia mabuk lagi di jalan."

"Eh?" Eshika melotot. "Kalau gitu, Velly gawat dong kalau bareng Reki."

Eh, Tama ingin sekali rasanya menepuk mulutnya sendiri karena suka sekali terlepas bicara seperti itu. Dengan cepat Tama menggeleng, berusaha memberikan klarifikasi.

"Udah. Nggak perlu dikhawatirin. Kan yang mabuk biasanya nggak mabuk kalau lagi bawa mobil. Lagipula, mana ada ceritanya jalan ke Puncak pake acara mabuk?" Tama berusaha meyakinkan. "Anggap aja ini terapi biar Reki bisa memulihkan alerginya."

Eshika manggut-manggut.

"Oh iya, Esh. Cuma mau ngingatkan kamu aja sih. Ntar jangan lupa telepon Mami. Kabarin kalau kita mau ke Puncak. Eh, atau biar aku aja deh yang ngabari," ujar Tama kemudian setelah berpikir singkat. "Terus, Mama kemaren sih pesan ke aku. Mama nyuruh kita buat mampir dulu ke rumah sebelum pergi ke Puncak."

"Ehm ... nginap atau mampir bentaran doang, Tam?"

Tama mengusap-usap dagunya. "Menurut kamu?" tanya balik Tama. Lalu, mendadak saja Tama geleng-geleng kepala. "Kita mampir bentar aja, Esh. Nggak usah nginap."

Bukannya apa. Tapi, Tama takut kejadian beberapa waktu yang lalu ketika ia dan Eshika menginap terulang kembali. Tama tidak mau mengalaminya lagi. Setiap ia mendekati Eshika pasti akan dilihat lain oleh ibunya sendiri. Jadi, daripada bermasalah lagi maka Tama memutuskan untuk menghindari calon masalah. Itu lebih bijaksana.

Sedangkan Eshika, ia sendiri merasa tidak ada yang perlu diperdebatkan juga soal itu. Ia melihat tidak ada untung rugi juga sih sebenarnya.

Dan sejurus kemudian, seraya meminum air minumnya lagi Eshika melihat jam tangannya. Menyadari bahwa hari telah beranjak sore. Dan ia menyadari bahwa mereka berdua belum makan siang lantaran pulang terlambat akibat diskusi soal Puncak tadi.

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang