49. Masih Berlanjut

949 67 2
                                    

Tama menutup pintu kamarnya dengan kasar. Mengabaikan Eshika yang menatap tak berdaya padanya ataupun genangan air mata gadis itu yang satu per satu jatuh membasahi pipinya. Tubuhnya bahkan terlihat bergetar parah saat ia memaksa dirinya sendiri untuk beranjak ke kamar mandi, sekadar untuk mencuci muka. Di sana, di pantulan cermin itu Tama bisa melihat bagaimana wajahnya yang mengelam dan matanya pun memerah. Tak heran bila Eshika begitu ketakutan melihat dirinya dan bahkan sempat menangis karenanya. Ia sendiri bahkan merasa ngeri melihat pantulan wajahnya.

Tama menyalakan kran air. Mencuci mukanya dengan asal hanya sekadar berusaha meredakan emosinya sebelum ia memiliki keinginan untuk meninju hingga pecah cermin di depan wajahnya.

"Argh!"

Saking kesal dan emosinya cowok itu, Tama sejurus kemudian melepas seragamnya dengan asal, melemparnya ke sembarang arah, dan lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Menutup mata, memutuskan berusaha untuk meredakan emosinya dengan tidur saja. Berusaha untuk tak menghiraukan Eshika yang ia yakini masih berada di depan kamarnya. Bukannya apa, isak tangis Eshika masih terdengar sayup-sayup di telinga Tama sebelum pada akhirnya kegelapan merenggut kesadaran cowok itu. Sedikit mengusik hati Tama, tapi cowok itu terlalu emosi untuk mengikuti niatnya menghampiri Eshika. Membujuk dan menenangkan gadis itu.

Eshika mengelap pipinya seraya menahan sesegukan. Setelah beberapa saat ia menghabiskan waktu dengan menangis di depan pintu kamar Tama membuat ia tersadar bahwa cowok itu tidak akan menemui dirinya lagi, setidaknya bukan malam itu. Maka dengan langkah gontai, Eshika berdiri. Beranjak menuju ke kamarnya.

Eshika meletakkan tas ranselnya dan mengernyit bingung ketika mendapati ada ponsel Tama di tasnya. Ia meraih benda itu. Bergumam dengan heran.

"Kenapa ponsel Tama ada di tas aku?"

Terbersit di benak Eshika untuk mengembalikan ponsel itu, tapi niat itu dengan segera ia urungkan.

Esok pagi saja, pikirnya.

Dan mudah-mudahan saja Tama sudah tidak marah lagi. Itu lebih baik. Membiarkan Tama sejenak untuk meredakan emosinya.

Malam itu praktis Eshika tidak bisa tidur dengan nyenyak. Otaknya selalu terpikir Tama dengan resah. Maka dari itu pada akhirnya sepanjang malam Eshika hanya berbaring gelisah tanpa bisa benar-benar memejamkan matanya.

Keesokan harinya, Eshika terbangun dengan kantung mata yang besar di kedua matanya. Wajar. Efek menangis dan tidak bisa tidur ternyata berdampak langsung pada dirinya.

Eshika menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menguatkan dirinya ketika ia memutuskan untuk memulai beraktifitas. Dan ia berencana akan berusaha membujuk Tama.

Gadis itu memasakkan Tama soto ayam kesukaan cowok itu. Mengupas dan memotong pepaya. Juga menyiapkan susu putih yang selalu diminum oleh Tama setiap pagi. Setelahnya ia dengan cepat bergegas bersiap-siap, mandi, dan mengenakan seragamnya.

Eshika meremas ponsel Tama di tangannya. Bersiap menggunakan hal itu sebagai alasan untuk menyapa Tama.

Saat ini, ia telah berdiri di depan pintu kamar Tama. Sebenarnya, Eshika menyadari bahwa entah sejak kapan, tapi dirinya mendadak saja terbiasa masuk ke dalam kamar Tama tanpa mengetuk. Seolah ia memiliki hak untuk masuk ke kamar Tama sesuka hatinya. Tapi, sekarang mendadak saja tangan Eshika terasa berat untuk menekan daun pintu itu. Bahkan rasa-rasanya kaki Eshika terasa kaku untuk melangkah kalau seandainya ia tetap memaksa membuka pintu itu.

"Kreeekkk ...."

Eshika melotot.

Di luar dugaannya ia mendadak melihat pintu kamar Tama terbuka. Menampilkan pemandangan Tama dengan wajah dan rambut yang kusut. Cowok itu sontak membeku ketika mendapati Esika di depan pintu kamarnya. Sejurus kemudian, untuk beberapa saat mereka hanya saling tatap tanpa ada yang bicara. Hingga terdengar suara Eshika berusaha bicara walau terdengar terbata.

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang