42. Minggu Siang

1.2K 76 1
                                    

"Tililit!"

"Nah .... Udah beres semua, Mas. Ini nggak ada masalah. Jari Mas dan Mbaknya udah kerekam bagus nih."

Tama mengangguk. Melirik Eshika yang memegang jarinya yang baru saja melakukan tes terakhir untuk menguji kunci baru mereka.

Argh!

Sekarang melihat kepergian petugas itu membuat Tama ingin menggigit batu bata. Membuat ia salah tingkah di hadapan Eshika.

Bagaimanapun juga, perkataan Eshika di lift tadi sedikit banyak membuat ia jadi kepikiran. Ehm ... bukan sedikit banyak, tapi memang banyak. Banyak sekali malah.

Ini berasa kayak aku yang mau ngapa-ngapain dia nggak sih?

Tama memejamkan matanya dengan dramatis.

Ya ampun.

Please, jangan buat Eshika mikir aku hentai, Tuhan.

Ini murni sebenarnya buat menjaga privasi kami dari Mama. Aku cuma nggak mau aja kelakuan Mama justru ngebuat Eshika jadi ngerasa nggak aman. Yakin deh! Aku nggak ada niat lebih kok. Sumpah deh! Beneran! Nggak bohong.

Tapi, tetap saja.

Karena perkataan Eshika, sekarang malah Tama yang jadi kepikiran.

Tuh kan benar yang dia bilang.

Terkadang kita yang nggak memikirkan apa-apa justru mendadak kepikiran gara-gara orang yang udah mikir kita bakal ngelakuin hal kayak gini.

Ya seperti sekarang ini.

Tama menggeram.

Tadi sebenarnya sih Tama sempat berpikir untuk membatalkan saja keinginannya buat ganti kunci. Tapi, kan kasihan sama Inayah. Masa bolak-balik menghubungi petugas hanya gara-gara dia.

Nanti kalau Mbak Inayah mikir aku cuma suka iseng main-main gitu kan jadi nggak enak juga dengan Mbaknya. Aku nggak mau dianggap suka mempermainkan pekerjaan orang.

Begitulah pembelaan Tama tadi ketika tetap memutuskan tetap mengganti kunci pintu apartemennya. Lagipula kalau pakai sidik jari kan keamanan unitnya lebih terjamin.

Tunggu aja, pikir Tama. Kalau perlu ntar aku pake sensor retina mata juga.

Duh!

Dipikir Tama dia menyimpan tumpukan emas kali di unit apartemennya.

Dan ketika dilihatnya Eshika masuk ke unit, Tama mengembuskan napas seraya mengusap-usap wajahnya dengan kedua tangannya.

Tapi, setelah malam tadi, kenapa aku jadi takut kalau aku beneran kelepasan sama Eshika ya? Terutama setelah ganti kunci gini.

Jantung Tama berdegup kencang hingga membuat cowok itu menarik napas dalam-dalam. Gejolak darah mudanya mendadak bangkit seketika. Terutama ketika ia teringat bagaimana rasa bibir Eshika di bibirnya.

Tama berkacak pinggang. Masih di lorong, ia menoleh mengamati kepergian Eshika melalui pintu yang terbuka. Tampak gadis itu menuju ke dapur.

Kalau Eshika tau aku diam-diam cium dia ...

Glek.

Tama meneguk ludahnya.

Pasti aku bakalan kena hajar.

Kepalanya menggeleng-geleng berulang kali.

Lagian kamu sih, Tam. Ngapain juga pake acara cium dia?

Tama menggeram.

Ya gimana coba? Itu kayak yang dorongan alamiah aja. Lagipula, dia itu istri aku. Mau lebih dari cium juga aku berhak kok.

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang