39. Seminggu Pertama

1.1K 80 2
                                    

Tama berdiri di depan pintu kamar Eshika. Menguatkan diri untuk mengetuk pintu itu sekali seraya memanggil nama gadis tersebut. Namun, beberapa saat menunggu tak ada sahutan dari dalam kamar itu. Memberi jeda sejenak, Tama lantas kembali mengetuk pintu. Hingga beberapa kali, nyaris frustrasi dan ingin mendobrak pintu itu, akhirnya seorang asisten rumah tangga yang kebetulan lewat menyapa Tama.

"Nyari Mbak Eshika, Mas?"

Tama menoleh. "Eh ... iya, Mbak. Ada yang mau diomongin soalnya."

"Mbak Eshika di bawah, Mas. Di taman samping. Kayaknya lagi main ayunan."

"Oooh ...."

Cowok itu manggut-manggut. Mengucapkan terima kasihnya dan lantas bergegas turun ke bawah.

Menemukan Eshika sendirian membuat Tama sejenak bingung akan apa yang harus ia katakan mengenai semua hal yang terjadi di hari itu. Tapi, lantas kata maaf itu meluncur saja dari bibirnya. Dan tak disangka, itu membuat Eshika terdiam seribu bahasa. Mungkin tidak menyadari bahwa Tama akan meminta maaf pada dirinya.

Menahan napasnya sejenak di dadá, Tama menahan ayunan hingga terdiam. Membuat cowok itu bisa memaku tatapan Eshika untuk beberapa saat.

"Bisa geser dikit?" tanya Tama menggugah Eshika.

Gadis itu terlihat bingung sejenak sebelum pada akhirnya mengangguk seraya menggeser duduknya. Membiarkan Tama untuk duduk di sebelahnya. Dan entah mengapa, dingin malam yang tadi sempat membuat ia menggigil seketika menghilang. Justru tergantikan oleh kehangatan yang membuat Eshika sesak napas.

Beberapa detik berlalu tanpa ada yang bersuara di antara mereka. Hingga kemudian suara Tama kembali memecah keheningan di antara mereka.

"Aku tau aku udah kelewatan banget hari ini," katanya pelan. "Aku minta maaf."

Eshika mengembuskan napasnya perlahan. Otaknya berpikir.

Sebenarnya hari ini nggak semuanya salah Tama sih. Aku juga udah salah sama dia. Aku juga udah keterlaluan dengan dia.

"Ehm ... aku juga salah sih, Tam," kata Eshika kemudian dengan lirih. "Aku juga minta maaf."

Terdengar Tama menarik napas. "Nggak. Semuanya memang berawal dari aku. Kalau aku lebih cepat buat ngusir Tere, kita juga nggak bakal ribut kayak gini."

Eshika membuang muka. Menoleh ke arah lain. Dan itu tertangkap oleh mata Tama. Membuat ia yakin kalau Eshika benar-benar tidak suka dengan Tere.

"Kamu beneran nggak suka Tere ya?" tanya Tama bodoh.

Eshika mendengus. "Kamu lupa? Dia kan udah pernah mencegat aku, terus ngajak aku ribut. Ya wajar dong aku nggak suka dia."

Tama manggut-manggut. "Oh ...."

"Lagian ya," sambung Eshika memutar arah duduknya. Menghadap Tama. "Nggak bisa gitu kalian pelukan di tempat yang lebih privasi? Buat gedek yang ngeliat tau nggak?"

"Eh ... sembarangan kalau ngomong," gerutu Tama. "Kalau kamu ngeliat dengan mata jernih, kamu bisa tau kalau yang tadi itu Tere yang berusaha meluk aku. Aku bahkan udah mati-matian berusaha buat melepaskan pelukan dia."

"Oh ya?" sulut Eshika cemberut. "Aku ngeliatnya kamu kayak yang suka gitu pas dia peluk."

Tama geleng-geleng kepala. "Kalau gitu, berarti itu tadi kamu ngeliat pake mata emosi, bukan mata jernih. Gimana ceritanya aku yang berusaha melepaskan diri dibilang suka?"

Bibir Eshika mencibir.

"Kamu tuh harusnya tau beda orang yang suka dipeluk sama seseorang dan yang nggak suka. Itu padahal jelas banget bedanya."

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang