70. Mencoba Sabar

776 72 2
                                    

Tama berusaha untuk tetap tersenyum. Berusaha agar akal sehatnya tidak tertutupi oleh sulutan emosi yang jelas-jelas ingin dinyalakan oleh Alex.

Maka cowok itu kemudian memilih untuk meraih tangan Alex agar turun dari pundaknya. Lalu, seakan-akan ingin balik menyulut amarah cowok itu atau sekadar untuk mengetes sejauh mana kesabaran yang Alex miliki, Tama memutuskan untuk kembali beranjak ke depan cermin. Seolah-olah sedang memeriksa seragam putihnya.

"Uh. Untung nggak ada noda yang tertinggal," lirih Tama seraya menepuk-nepuk pundaknya sendiri. "Kasian yang nyuci baju soalnya. Ini warna putih."

Wajah Alex seketika mengeras. Merasa tersinggung oleh perkataan Tama.

"Nggak usah ngalihkan pembicaraan, Tam. Jangan jadi cowok pengecut."

Tangan Tama yang tengah menepuk pundaknya seketika berhenti bergerak. Ia memutar tubuh dan setengah berkacak pinggang menatap Alex. Dahinya sedikit berkerut ketika kembali bersuara.

"Gimana ya ngomongnya, Lex? Tapi, aku bukannya pengecut," kata Tama enteng. "Aku cuma nggak mau ngeladeni orang yang jelas-jelas nggak selevel dengan aku. Ngebuang-buang tenaga dan waktu aku untuk hal yang percuma, tau nggak sih?"

"Kamu ...."

"Oh! Jangan salah duga, Lex," ujar Tama cepat. "Sebenarnya aku itu baik loh. Nggak mau mempermalukan kamu di depan umum. Gimana ya? Tapi, aku ngerti dong gimana rasanya udah ngejar-ngejar cewek dari lama, eh tapi ternyata si cewek tetap nggak luluh-luluh juga." Tama geleng-geleng kepala. "Itu pasti memalukan banget. Dan karena kita masih satu gender, ya aku berusaha untuk menutupi kenyataan itu dari orang-orang kok. Tenang aja. Aku nggak bakal ngomong ke siapa-siapa."

Alex mendengus. Menyeringai melihat Tama. "Jadi, menurut kamu Eshika lebih milih kamu dari aku? Kok bisa kamu se-pede itu ya jadi cowok? Dengan rekor kamu yang selalu jahatin Eshika selama ini?"

Tama tersenyum. "Kamu bayangkan aja, Lex. Lagi aku sering jahatin dia aja ternyata dia lebih pro ke aku dari kamu, apalagi kalau aku baikin dia coba?" tanya cowok itu meledek. "Dan ngomong-ngomong soal Eshika yang lebih milih aku dari kamu, ehm ... bukannya itu ya yang sekarang sedang terjadi?"

Wajah Alex mengeras. Jari telunjuknya naik ke wajah Tama. "Bukan itu yang sekarang sedang terjadi. Yang ada adalah kamu berusaha untuk ngerebut Eshika dari aku."

Antara ingin tertawa dan juga marah, Tama hanya bisa mengumpat di dalam hati.

Kamu tau nggak sih? Kamu itu yang mau ngerebut istri aku. Maling kok teriak maling sih?

Tapi, Tama menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk meredakan amarahnya.

Jangan sampe buat ulah sama cowok sebangsa ini, Tam. Jatuh harga pasar kamu ntar.

Maka setelah mengembuskan napas panjangnya, Tama berkata.

"Ngerebut itu kalau posisi Eshika pacar kamu, Lex." Suara Tama terdengar pelan, namun penuh dengan penekanan. Tangan cwok itu kemudian naik, memegang telunjuk Alex dan membawanya turun. "Sedangkan kenyataannya, kalian nggak pernah pacaran. Bahkan kalau mau aku tambahkan. Bukannya kemaren kamu udah ditolak lagi ya sama Eshika?"

Raut syok langsung tercetak di wajah Alex. Seakan tak percaya bahwa Tama mengetahui hal tersebut.

"Ck." Tama menyeringai mengejek. "Nggak usah kaget gitu, Lex. Biasa aja kali. Jangan bilang kamu heran kenapa aku bisa tau. Yah, mau gimana lagi ya? Aku dan Eshika itu benar-benar udah di tahap yang saling jujur kalau ada orang yang sok mau deket gitu."

Alex terdiam.

Tama melepaskan tangan Alex dan beranjak. Tapi, sebelum ia benar-benar pergi, ia berhenti di sisi tubuh Alex. Kali ini gantian dirinya yang memegang pundak cowok itu.

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang