21

1.3K 64 12
                                    

>>>sambungan.

Setelah beberapa menit berlalu, aku rasa sudah cukup buat Ana berfikir.
Akupun masuk dan menemui Ana di meja makan. Zuno mengikutiku di belakangku.

"Ehhmm! Ana, boleh abang bicara" kataku minta izin dari Ana.

"Bang Rain kan abangnya kami. Tentu bolehlah. Kak Ana tidak akan marah" Rein yang berbicara.

"Ana adekku. Coba pikir lagi sayang. Zuno sudah sampai datang kemari hanya untuk menjemput kita, itu karena sayang dan cintanya sama Ana. Papi dan Maminya yang mengundang kita, agar mereka tau siapa sebenarnya pacar anaknya yaitu Zuno"

"Ana belum kepikiran bang untuk ke arah sana"

"Terus kenapa kamu menerima Zuno kalau kamu tidak berfikir ke arah selanjutnya. Abang tau, ini semua karena Abang. Tapi abang kan sudah minta maaf"

"Bang, dari hati yang paling dalam, Ana dan Rein merasa bersalah dan berdosa menuntut lebih perhatian abang ke kami. Karena kami selama ini menganggap abanglah pengganti Ayah dan Ibu." Ana menghela nafas. Lalu dia melanjutkan kata katanya.
"Dengan kata kata abang kemaren, Ana baru sadar bahwa abang juga butuh pendamping. Tidak mungkin abang akan selamanya memperhatikan kami"

"Ana! Rein! Abang salah mengatakan begitu sayang. Kalian berdua adalah nadi hidup abang. Maafkan abang kalau kalian merasa abang nomor duakan"

"Bang, Rein akan berusaha bisa seperti abang. Rein akan kerja di bengkelnya bang Tigor pulang sekolah nanti. Jadi abang boleh menentukan hidup abang" kata Rein optimis.
Aku tertunduk sedih mendengarnya.

"Ana juga bang. Ana akan berusaha untuk mandiri tidak tergantung siapun" katanya.

"Ana, kau telah kupilih menjadi pendamping hidupku kelak. Kamu tidak usah bicara seperti itu sayang. Zuno akan bertanggung jawab akan hidup kita. Zuno sadar, kamu masih sekolah, tapi Zuno sudah bernaji akan menunggumu. Soal kuliah atau apa pun keinginan hatimu, Zuno akan mendungkungnya. Jadi jangan bicara seperti itu" kata Zuno sedikit emosional.

"Bisa enggak kita bicarakan lagi nanti setelah menemui orang tua Zuno adekku biar kita sama sama mendengar apa keputusan mereka. Nanti baru Ana yang menyimpulkan" kataku berharap Ana mau memenuhi undangan orang tua Zuno.

"Kak Ana, Rein berharap kak Ana pergi seperti kata Rein, kak"

Ana melihat ke wajah Rein, dan Rein menganggukan kepala agar Ana mau pergi.

"Ok bang, Ana mau menuruti permintaan abang."

"Makasih ya adekku. Sekarang siap siap biar kita berangkat. Dan kamu adekku Rein, ikut ya" pintaku.

Rein menggeleng.

"Rein mau ke bengkelnya bang Tigor bang. Rein mau mulai kerja mumpung masih libur"

"Rein, adekku. Kamu bisa melakukannya nanti sayang. Abang masih bisa biaya kamu."

"Enggak bang. Ini buat pelajaran Rein. Rein harus bisa mandiri. Kalau mau pergi, abang sama Ana aja. Rein kan tidak akan ada hubungannya nanti."

"Rein, boleh tidak abang minta dengan sangat, urungkan niatmu untuk kerja seperti itu, abang masih sanggup"

"Enggak bang, hargai sedikit keputusan yang Rein buat demi masa depan Rein."

Aku seperti bukan siapa siapanya Rein yang membuatku semakin sedih.

"Rein, kau adalah adekku yang harus kuperhatikan dan kutanggung jawab i."

"Betul bang, tapi Rein tidak bisa egois. Tenang aja sih bang. Pergilah kalian"

"Maaf Rein, bukannya mau ikut campur, tapi kalau bisa, sekolah aja dulu dek. Bang Rain dan bang Zuna akan tetap memperhatikan kau dek."

"Makasih bang. Tapi mohon maaf, Rein juga ingin seperti kalian. Ehh...itu Ana sudah siap siap, pergilah kalian" kata Zuna yang bangkit dari duduknya pergi meninggalkan kami.

𝐇𝐀𝐍𝐘𝐀 𝐒𝐄𝐁𝐀𝐓𝐀𝐒 𝐊𝐄𝐏𝐔𝐀𝐒𝐀𝐍 (BISEX)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang