51

28 4 0
                                    

"Aku udah di depan rumah nih, kamu masih siap siap?" Sambil menelfon Sisil Juan melihat ke arah jendela kamar Sisil yang berada di lantai dua rumahnya yang megah itu.


"Iya, bentar ya. Aku kebawah kok sebentar lagi. Aku lagi cari sepatu yang pas." Jelas Sisil agak rusuh saat terdengar lewat sambungan telepon.

"Yaudah, nanti kamu langsung turun ke bawah aja. Aku tutup telfonnya—"

Sambungan telepon Resmi terputus, Juan menyimpan ponselnya dan melamun sambil menatap jalanan komplek.

Ia tak habis pikir jika nanti Sisil benar benar terbukti menjadi pelakunya. Juan berfikir kenapa Sisil bisa sejahat itu? Juan tahu mungkin Sisil cemburu namun tak seharusnya kan dia berbuat jahat seperti itu?


"Sayang—"

Sisil masuk dan duduk disebelah Juan yang duduk si kursi kemudi.

"Sorry ya lama," Sisil memasang sabuk pengamannya.

"Gapapa,"

"Kamu mau bawa aku kemana sih? Tumben banget kamu ngajak aku keluar?"

"Aku kangen sama kamu, udah lama kita gak pergi dinner." Jelas Juan sambil membelokan mobil dan mulai melajukan mobil dengan kecepatan sedang.

"Loh, emang kamu gak akan di omelin Mira?" Tanya Sisil sebagai basa basi agar Juan tak curiga padanya.

"Dia masuk rumah sakit," Jelas Juan tanpa ekspresi.

Sisil memasang wajah sok kagetnya.

"KOK BISA? DI KECELAKAAN?"

Juan menatap Sisil sekilas.

"Gak kecelakaan sih, kayaknya dia ada yang ngeracun." Jelas Juan dengan nada agak sedikit menyindir.

"Di racun gimana?" Tanya Sisil sambil memasang wajah bodohnya.

"Iya, sehabis kita pulang dari cafe Mira tiba tiba muntah darah gitu dan dokter bilang kalau Mira itu keracunan, pas aku cek di cctv cafe itu ternyata bener aja kalo Mira itu di kasih racun sama orang asing."

"Duh, kasian banget Mira. Tapi Keadaanya sekarang baik baik aja kan?" Sisil menampakan sikap pedulinya.

"Keadaan sekarang jauh dari kata baik baik aja," Jelas Juan agak datar.

Sisil yang melihat wajah Juan datar langsung menatapnya aneh.

"Kamu kenapa?"


"Kamu gak ngelakuin hal nekat itu ke Mira kan Sil?" Sisil langsung menoleh dengan tatapan agak sewot pada Juan.

"Maksud kamu nanya gitu ke aku itu apa?" Nada bicara Sisil agak naik.

"Ya aku cuma nanya aja, kamu gak ngelakuin hal sejahat itu kan sama Mira?" Jelas Juan yang membuat Sisil tersenyum ketir.

"Kamu nuduh aku gitu? Kamu nuduh aku kalau aku yang kasih racun ke Mira gitu?"

"Ya aku sih gak nuduh, tapi gatau kenapa firasat aku tertuju sama kamu terus. Seakan akan hati aku bilang kalau kamu pelakunya,"

"Jahat ya kamu Juan,"

"Aku mana mungkin lakuin hal itu ke Mira!" Sisil meneteskan air matanya di depan Juan.

"Cuma demi mantan kamu, kamu nuduh aku kayak gini? Kok kamu tega sih sama aku? Emang tampang aku keliatan kayak orang jahat?"

"Ya aku gak nuduh kamu Sil, aku cuma gak mau ya kalau kamu ngelakuin hal itu. Karena aku tau apa yang bakal Jamal lakuin kalo dia ketemu sama pelakunya, Jamal itu gak pandang bulu."

"Aku gak permasalahin soal Jamal, aku sakit hati sama kamu yang tuduh aku ngelakuin hal itu!"

"Jadi kamu ajak aku makan malem cuma buat bahas ini? Shit—"


"Kok jadi kita yang berantem sih Sil?"


"Kamu yang mulai Juan, aku emang cemburu smaa kamu yang sekarang lebih Deket sama Mira dibandingkan sama aku. Tapi aku gak pernah lakuin hal itu!"

"Aku sakit hati, kamu secara gak langsung nuduh aku Juan!"

Juan yang melihat Sisil menangis pun langsung menghentikan mobilnya, dan memeluk perempuan itu.

"Kamu lebih percaya sama hati kamu dibanding sama aku? Kamu lebih ikutin apa kata hati kamu yang terus nuduh aku tanpa bukti?"

Juan agak luluh dengan Sisil yang sesegukan di pelukannya, Juan jadi menghentikan pikiran dan hatinya untuk terus menerus menuduh Sisil.

Mungkin Sisil memang tidak melakukan hal itu, mungkin itu hanya firasatnya saja yang salah.

"Maaf ya aku udah nuduh kamu,"

"Sebenernya kamu sayang sama aku gak sih? Kalau udah gak sayang mending kita putus aja. Aku capek, aku udah hampir tiga bulan mencoba sabar sama kamu yang masih mau nolong Mira dan sekarang balasan kamu buat semua kesabaran aku itu nuduh aku ngelakuin hal jahat itu ke Mira? Jujur Aku sakit hati Juan—"



"Iya maaf ya, aku sayang kok sama kamu. Sorry aku udah berpikir yang enggak-enggak Soal kamu."

Jua mengusap ubun ubun Sisil lembut, membuat Sisil semakin sesegukan.

"Damai ya? Kita gak boleh berantem." Juan menyeka air mata Sisil.

"Yuk keluar, aku kangen dinner sama kamu." Sisil tersenyum.

"Makasih karena masih mau percaya sama aku." Jelas Sisil yang membuat Juan ikut tersenyum.

Drt..Dertt..


"Eh sayang, kamu masuk ke restoran nya duluan aja ya. Sekalian pesenin makanan buat kita, aku mau angkat telepon dari ayah dulu." Sisil mengangguk lalu keluar dari mobil Juan.


"Halo ayah? Kenapa telpon Ju—an,"



Juan meletakan ponselnya saat matanya lebih tertarik pada bungkusan kecil yang berada di tempat Sisil duduk tadi.


"Juan—"


Ucapan ayahnya tak di gubris oleh Juan, Juan kini malah meraih bungkus obat kecil yang ada di kursi Sisil tadi.


"Bungkus obat ini sama kay—" Juan menjeda ucapannya.















"Ternyata firasat gue yang bener!"

Senar Laksara | LucasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang