Mira dan El saling bertatapan sebentar, sebelum memutuskan untuk berani mengangkat suara.
"Laksa?"
Mira mencoba memanggil Laksa yang terus terdiam selama panggilan telepon berlangsung hampir satu jam lebih.
Saat tak mendapat sahutan dari Laksa, Mira langsung memberi kode pada El jika sekarang gilirannya untuk memanggil Laksa.
"Om??" El mendekatkan wajahnya pada kamera, meskipun wajahnya sudah sangat menggemaskan Laksa masih saja tak melirik bocah kecil itu.
"Om kok El di cuekin sihh?" Dengus El sebal.
Rengekan El juga lagi lagi tak di respon oleh Laksa, Mira dan El sama sama heran. Tak biasanya Laksa jadi irit berbicara seperti ini.
Biasanya setiap sambungan telepon sama sama terhubung, Laksa selalu antusias. Namun sekarang sepertinya tidak seperti itu, Mira dan El pun tak tahu apa alasan laki laki itu murung seperti ini.
"Lak—"
"Apa?" Datar Laksa.
Mira dan El langsung tersenyum saat Laksa kini merespon ucapannya Meskipun matanya masih tertuju pada arah lain.
"Lo kenapa sih?"
Laksa lagi lagi diam tak merespon. Pikirannya masih tertuju pada ucapan Eline, matanya masih tertuju pada lembar foto yang sudah menguning yang berada dalam genggaman kedua tangannya, dan hatinya juga masih tertuju pada rasa bersalah yang tak kunjung hilang.
"Inget, kamu ke Belanda itu buat berobat biar kamu bisa sembuh dari penyakit kamu dan bisa hidup bahagia lagi sama Mira. Bukan buat wisata masa lalu bareng aku,"
Sumpah, demi apapun kata kata itu tak luput dari ingatannya yang membuat Laksa semakin merasa jika hatinya sedang tidak baik baik saja. Apalagi saat ditambah ucapan Teon ikut melintas dalam pikirannya.
"Masa lalu itu ada buat jadi cerminan dan bahan pelajaran buat Lo kedepannya, bukan buat Lo kejar Lak."
Perasaan Laksa campur aduk menjadi satu, antara senang, sedih, bingung, kecewa, dan kesal. Ia senang karena konfliknya dengan Mira sudah mulai mereda, Mira sudah mau belajar untuk mengembalikan ingatannya bersama Laksa, namun disisi lain juga Laksa merasa sedih saat mengingat cintanya bersama Eline, mengingat jika dulu Eline ada perempuan yang paling dicintainya, ia juga merasa kesal karena lagi lagi ia merasa brengsek, meskipun Eline atau yang lain tak menganggapnya seperti itu Laksa tetap saja merasa kesal pada dirinya sendiri. Disisi lain ia juga merasa bingung dan merasa kecewa saat Eline memutuskan hubungan dengannya meskipun hubungan itu sudah hampir terlupakan olehnya. Tapi entah kenapa Laksa merasa sangat kecewa.
"Matiin aja kali ya? Laksa kayaknya lagi gak baik baik aja deh El." Bisik Mira sambil menatap Laksa yang masih melamun.
"Tapi lebwih baik kita tanya om Aca lagwi punya macalah apa Kak." Saran El yang membuat Mira jadi ikut berpikir.
"Ya tadinya Kakak mau coba tanya dia lagi ada masalah apa, tapi kan dia dari tadi gak nyaut nyaut El. Jadi mending kita matiin aja telponnya dan suruh dia istirahat."
"Yawudah," El agak kecewa, sambil cemberut El mengucapkan kata terakhirnya sebelum ia akan memutuskan panggilan telepon itu.
"Om istilahat ajah yah, jangan banyak banyak pikilan ya om. Om hayus sembuh,"
—pippppp
Laksa mengerjapkan kedua matanya saat sadar jika sambungan telepon itu tiba tiba diputuskan secara sepihak oleh El.
"Loh kok dimatiin sih?"
Laksa cepat cepat menelpon El lagi, dan baru saja beberapa detik Laksa menghubunginya, El langsung mengangkat panggilan darinya.