Biggest Nightmare

907 141 65
                                    

Kamar luas yang biasanya sepi atau hanya terdengar suara alam dari trek pemutar musik hari ini terisi suara yang berdentum di seluruh sudut ruangan. Kim Dokja menghela napas panjang sambil membalik halaman buku yang tengah ia baca. Melirik, menatap Jecheon yang duduk di karpet berbulu tebal dan bersandar di sofa panjang yang tengah ia duduki.

Lelaki berambut pirang berkilau itu menyadari ada yang menatapnya lalu menoleh. "Apa?"

Kim Dokja hanya menggeleng dan keduanya tidak bercakap lagi.

Sekitar tiga jam yang lalu, Jecheon dengan muka melas datang ke rumah Kim Dokja tanpa di undang. Menghiraukan segala pertanyaan dari pemilik rumah, langsung menyambar sebuah play station dan memainkannya dengan volume sangat keras hingga Kim Dokja bisa merasakan kaca besar yang menghadap balkon bergetar.

Setelah terdiam cukup lama, Jecheon meraih jus lalu menengguknya beberapa kali sebelum kembali bersuara. "Dokja"

"Mhm"

"Menurutmu, cara paling efisien mendekati orang yang kau suka itu bagaimana?"

"Aku tidak tau" Kim Dokja menghentikan gerakkan matanya. Ia menerawang, ke beberapa waktu yang sudah ia lewati sejauh ini. "Selama ini, aku tidak pernah mendekati orang lain. Merekalah yang mendekatiku lebih dulu"

Jecheon mendengkus. Jelas kekesalan menghinggapinya. Namun ia juga sudah bereskpetasi mendapat jawaban seperti itu. Karena sejak awal Kim Dokja yang selalu dikejar oleh orang lain, bukannya mengejar. Dan mungkin saja jika saat ini lelaki manis itu tidak menyandang gelar sebagai kekasih Yoo Jonghyuk yang terkenal brutal dan overprotektif, akan lebih banyak orang yang mendekatinya.

Dan juga, mungkin, akan menariknya ke atas ranjang.

Bukan itu saja, Jecheon merasa selagi Kim Dokja terus bersama dengan Yoo Jonghyuk setidaknya sedikit dari kekhawatiran tentang kondisi Kim Dokja akan meluruh. Sebagai satu-satunya orang yang Hades percayai, Jecheon mengetahui garis besar dari apa yang tengah orang yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

"Jangan mengasihaniku"

"Aku tidak mengasihanimu" ucap Jecheon sambil bangkit dari karpet dan berganti duduk di sofa sebelum menekan tombol pause pada stick game.

Kim Dokja yang dalam posisi berbaring dengan lengan sofa sebagai bantalan harus sedikit mendongak untuk melakukan kontak mata. "Jecheon" panggilnya.

"Apa?"

"Apa menurutmu..." Kalimatnya terputus. Kim Dokja menatap kedua pergelangan tangannya yang terdapat luka melingkar ganda. Ia mengela napas berkali-kali demi melanjutkan kalimat berikutnya. "Apa menurutmu, aku bisa sembuh?"

Jecheon tersenyum. Ia mendekat kemudian mengacak rambut Kim Dokja. "Tentu saja. Apa kau tidak sadar kalau kau sudah sebaik ini sekarang?"

Mata Kim Dokja terbelalak sejenak kemudian terkekeh ringan. "Baik apanya, kau tidak tau kalau beberapa hari yang lalu aku--"

"Aku tau"

"..."

"Ayahmu yang memberitahuku. Karena itulah aku kemari" pria berambut pirang itu kembali tertawa. "Yah walau bukan hanya itu alasanku kemari"

Jecheon menarik figur dengan kemeja hitam kedalam pelukannya. Ia menepuk punggungnya perlahan hanya dengan ujung jarinya. Ia selalu merasa tubuh Kim Dokja sangat rapuh jika terkena perlakuan lebih keras sedikit saja. Namun siapa yang akan menyangka, tangan dengan jemari cantik itu pernah menghancurkan tulang seseorang tepat di depan matanya.

"Kau akan baik-baik saja"

"...Apa itu mungkin?"

"Iya. Aku percaya pada hari esok"

best buddies [ORV FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang