Terpisah

2.5K 339 67
                                    

Gena menjadi banyak melamun setelah pulang ke rumah orang tuanya. Ia tak tau apa yang bapaknya lakukan malam itu dirumah mertuanya, apa yang bapaknya katakan pada mereka pun ia tak tau.

Bapaknya hanya bilang akan menyelesaikan semuanya dengan cepat, tak mau mengulur waktu yang malah bisa membuatnya sakit.

Tapi...

Kenapa mendengar itu ia malah sakit?

Ia termenung di teras rumah, menatap jalanan yang tak pernah sepi. Pikirannya melayang akan nasibnya.

"Hufftt.."

Berulang kali ia menghela nafas. Dulu, jika pulang kampung ia akan duduk disini dengan Gio sambil berbincang tentang masa depan mereka yang akan dilalui dengan keluarga kecilnya. Menua bersama melihat tumbuh kembang anak anaknya kelak.

Mereka?

Bahkan kata 'mereka' akan berganti 'masing-masing' sebentar lagi.

Ia tau, jika ia kembali dan mengemis pada Gio... Itu sama saja dengan dia bodoh. Dan lagi, orang tuanya sudah tak sudi jika Gio menjadi bagian dari keluarga mereka. Cukup Dinda yang menjadi peninggalan Gio yang akan selalu mereka jaga, tidak dengan Gionya.

"Nduk..."

Gena menoleh saat Bapaknya memanggil. Beliau duduk disampingnya, sama sama menatap jalanan.

"Secepatnya bapak akan uruskan surat perceraian kamu."

Ia harusnya sudah tidak kaget, karena memang itu jalan terakhir. Namun dadanya masih sesak mendengar kalimat itu.

"Akan Bapak carikan orang yang bisa mengurus dengan cepat. Bapak gak mau kamu terlalu lama terikat dan terbelenggu di rumah tangga yang malah membebani kamu sendiri."

"Ayah sama Bunda bilang apa Pak?"

Suara helaan nafas Bapaknya membuatnya menoleh

"Ayahnya marah besar tadi malam, ibunya pingsan."

Nafasnya tercekat mendengar itu.

"Bapak sudah bilang ke Orang Tuanya, maksud kedatangan Bapak tadi malam untuk mengembalikan Putra mereka. Karena Bapak sudah tidak sudi mempunyai Mantu seperti dia. Bapak juga menjelaskan apa penyebab semua ini."

Gena menahan nafasnya mendengar itu, padahal ia semalam sudah siap menerima apapun yang akan terjadi. Termasuk perpisahan.

"Mereka minta maaf ke kita, tapi bapak hanya diam. Kelakuannya sudah tidak bisa diberi kata maaf."

Gena masih diam namun ia mengangguk.

"Sini... Bapak mau peluk anak kesayangan Bapak."

Ia mendekat dan memeluk Bapaknya. Seketika tangisnya pecah didalam pelukan Bapaknya. Dengan telaten Bapaknya mengusap kepalanya dan diam diam Bapaknya juga menitikkan air mata.

Orang tua mana yang ingin melihat rumah tangga anaknya hancur?

"Bapak tau... Kamu berat sama rumah tanggamu Nduk. Tapi coba pakai logika, bukan hanya dengan hati. Apa mau kamu bertahan dengan dia yang seperti itu? Bahkan dia sudah mengusir kamu. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi."

Tentu, tentu tidak. Ini semua sudah terlalu sakit.

"Bapak sama Ibu selalu berdoa yang terbaik untuk kamu Nduk, pasti kelak akan ada yang lebih baik untuk kamu dan Dinda."

"Anak Bapak ini cantik, baik, berpendidikan, kita juga bukan orang yang biasa biasa banget, kita berkecukupan, Bapak yakin dan selalu mendoakan kelak kamu mendapatkan ganti yang lebih baik dan sayang sama kamu juga dengan Dinda," sambung Bapaknya.

Setelah menenangkan Gena, bapaknya pamit untuk kembali bekerja. Kepulangan Gena dikampung menjadi sorotan beberapa pegawai orang tuanya. Seperti perkampungan pada umumnya, bisik bisik tetangga juga mulai membicarakan Gena.

"Mama..."

Gena menoleh dan mendapati Dinda yang sedang digendong Ibu Gena, Dinda melambaikan tangannya dan memamerkan jajanan pasar yang baru saja ia beli.

Seulas senyuman terbit, Gena ikut melambai. Ia tersadar dalam belenggu kesedihan, masih ada Dinda yang menjadi semangat hidupnya dan juga tujuan ia hidup.

Hot Relationship  "After Marriage" Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang