Part 28

83 9 0
                                    

Irgina melihat sepasang pengantin yang duduk di pelaminan. Ia tersenyum karena mengenali pria itu yang tak lain adalah kakak tertuanya.

"Rasanya baru kemarin aku menggendong Irdan," ucap seseorang di samping Irgina membuatnya menoleh, ternyata ibunya.

Wanita paruh baya berhijab itu juga menoleh pada Irgina. Ia tersenyum. "Setelah Irdan, Irham akan menikah juga. Maka tinggal kau yang ada di dekat Ibu."

Irgina tersenyum.

"Bu Nuraini, Nak Irgina, silakan bergabung dengan pasangan pengantin. Kami akan memotret foto keluarga."

Sejak kecil, Irgina dekat sekali dengan ibunya. Selain karena ia adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, Irgina juga anak bungsu yang baik dan penurut. Ia tidak pernah bersikap manja atau merengek seperti anak bungsu kebanyakan. Irgina lebih senang memendamnya dalam hati.

Namun, sesuatu yang dipendam lama-lama bisa meledak juga, kan?

Nuraini membebaskan kedua putranya melakukan apa pun, tapi ia sangat membatasi kebebasan putrinya. Wajar saja, karena Nuraini sangat menyayangi putrinya itu.

Setelah Irham menikah, sikap over protective ibunya semakin menjadi-jadi. Bahkan sewaktu kuliah, ibunya melarang Irgina tinggal di kosan. Sehingga Irgina harus pulang-pergi setiap hari naik bus. Semua hal yang dilakukan Irgina selalu dalam pengawasan ibunya.

"Apa?! Bekerja di luar kota?" Nuraini menatap putrinya dengan tatapan tak percaya.

"Aku hanya perlu duduk dan merevisi naskah para penulis yang masuk ke email. Bukankah itu menyenangkan? Aku juga akan menyewa rumah tinggal di dekat kantor tempatku bekerja," kata Irgina.

"Tidak!" Nuraini menatap putrinya. "Kau tidak bisa pergi jauh dari Ibu. Apa kau tega akan meninggalkan Ibu sendirian?"

Irgina menunduk.

"Sebelumnya kau meminta restu Ibu untuk menjalin hubungan dengan Erfan, sekarang kau meminta izin untuk bekerja dan tinggal di luar kota. Apa kau ingin membuang Ibu?" tanya Nuraini.

"Bukan begitu, aku juga ingin mandiri. Aku ingin memiliki uang hasil kerja kerasku sendiri. Aku mau ilmu yang kudapat di bangku sekolah berguna untukku. Aku juga ingin merasakan lelahnya saat pulang bekerja, merasakan tanggal tua, dan menikmati cuti," jelas Irgina.

"Kau tidak perlu repot-repot bekerja. Ibu bisa memberimu uang dan membeli kebutuhanmu," kata Nuraini.

"Itu berbeda," gerutu Irgina.

"Apa bedanya? Sama saja kau yang membelanjakannya," gerutu Nuraini sambil mengalihkan pandangannya.

Irgina menghela napas berat. "Aku juga ingin seperti Mas Irdan dan Mas Irham. Mereka bekerja dan menghasilkan uang. Mereka bisa melakukan apa pun yang mereka mau. Lalu kenapa aku tidak?"

Nuraini kembali menatap putrinya. "Karena kau anak perempuan. Kau tidak bisa pergi terlalu jauh. Kau seharusnya tetap di rumah. Ibu khawatir, Ibu menyayangimu."

"Jadi, selama ini Ibu melarangku melakukan itu ini karena menyayangiku?"

"Tentu saja," sahut Nuraini.

"Berarti... Ibu tidak menyayangi Mas Irdan dan Mas Irham?" Irgina menatap tak percaya pada ibunya.

Nuraini menggeleng. "Bukan begitu...."

"Kenapa Ibu hanya menyayangiku? Bagaimana perasaan Mas Irdan dan Mas Irham kalau mereka mengetahui hal ini," kata Irgina kemudian berlalu.

"Hei, kau mau apa?" Nuraini menyusul putrinya.

MISANTHROPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang