EPILOGUE

122 12 6
                                        

Natalia tampaknya sedang berbicara dengan seseorang di telepon.

"Iya, jenazah Widya sudah ditemukan di antara jenazah-jenazah lainnya di rumah tua itu. Sepertinya Kak Rina membawa jenazah Widya ke sana saat Ibu mengira tubuh Widya sudah menjadi abu," kata Zyara dari seberang sana.

Natalia menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu."

"Ini sudah malam. Besok aku akan menelepon Kakak lagi."

"Baiklah, jangan bolos sekolah lagi, ya," kata Natalia.

"Siap, Bos!"

Natalia tersenyum. Panggilan pun berakhir. "Syukurlah, kau sudah bisa pergi dengan tenang, Widya."

Natalia merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamarnya. Ia teringat akan sesuatu.

🥀 Flashback On 🥀

Dari bawah, Natalia mengunci tangan Rina dengan borgol. Saat ia akan mengunci tangan satunya, tiba-tiba tubuhnya terpental jauh dan membentur dinding. Natalia tersungkur ke lantai.

"Kak Natalia!" Zyara panik melihat Natalia yang terkapar dan tak sadarkan diri.

Saat tak sadarkan diri itulah Natalia tersedot ke dimensi lain.

Natalia melihat ke sekeliling. Dirinya kembali ke tahun 1990 di mana rumah itu masih bagus. Ia melihat darah yang berceceran di lantai.

Terdengar suara dari kamar mandi, "Tolong! Tolong jangan bunuh aku!"

Natalia segera pergi ke kamar mandi. Kedua matanya terbelalak melihat perempuan yang sedang dikuliti hidup-hidup di dalam bak mandi. Sementara wanita satunya yang menguliti korbannya berdiri membelakangi pintu kamar mandi.

Darah memenuhi bak mandi bahkan meluber dan sebagian menetes ke lantai. Saat berbalik, Natalia terkejut melihat wajah wanita itu yang mirip sekali dengan sosok bermata merah. Hanya saja, wanita yang ini terlihat lebih seperti manusia.

Natalia melihat asap merah gelap yang mengelilingi tubuh wanita itu.

Setelah dikuliti, korbannya ditusuk dan dipukuli dengan palu hingga tewas. Wanita itu mengeluarkan tubuh mayat korbannya lalu memutilasinya. Natalia bergidik ngeri melihat pembunuhan tersebut secara langsung.

Setelah tubuh korbannya terpotong-potong, wanita itu mengambil seember cat hitam dan menuangkannya ke dalam bak mandi. Ia mengaduknya hingga tercampur rata.

Natalia terkejut saat ada tangan dingin yang menyentuh tangannya. Ia menunduk, ternyata anak kecil yang waktu itu. Ia menarik tangan Natalia seolah meminta agar mengikutinya. Ia pun mengikuti langkah anak itu.

Natalia melihat wanita yang mirip sosok bermata merah itu melilit lehernya dengan kawat besi. Sambil menangis, wanita itu mencekik dirinya sendiri dengan kawat besi itu hingga tewas dan darah mengalir dari lehernya membasahi gaun putihnya dan mengubahnya menjadi merah.

Asap merah gelap keluar dari tubuh wanita itu.

🥀 Flashback Off 🥀

Natalia menghela napas berat. Ia tidak mau ambil pusing lagi. Semuanya sudah berakhir, sehingga memilih untuk tidur.

🥀🥀🥀

Tahun 1990

Buah limus jatuh ke tanah. Seorang anak mengambilnya lalu mengangkatnya. "Aku menemukan buah limus!"

"Aku mau!!"

"Aku juga mau!"

Para gadis tampak kompak membatik di depan rumah itu. Anak-anak bermain dan berlarian di depan rumah. Para pria sibuk bergotong-royong membangun rumah panggung.

Ibu-ibu juga terlihat sibuk menjemur kain-kain batik di depan rumah. Selain sibuk menjemur, tampaknya mereka juga sibuk bergosip.

"Bu, Ibu pernah melihat anak kedua Bu Atmi?"

"Oh, si Hani?"

"Iya."

"Dia tidak secantik kakak dan juga adiknya. Apa dia anak kandung Bu Atmi?"

"Dia anak kandung Bu Atmi, tapi saat melahirkan, Bu Atmi tidak sengaja menjatuhkannya ke dalam cat."

Para ibu tukang gosip itu tertawa mendengar lelucon tersebut.

"Kasihan, dia pasti menderita setiap hari dijadikan bahan ejekan dan dibandingkan terus dengan kakak juga adiknya."

"Iya, haha."

Sementara itu, gadis berkulit sawo matang bernama Hani tampak serius belajar di kelasnya. Ia sangat cerdas, tapi orang-orang tidak menyukainya dan selalu menghinanya, karena ia dianggap tidak cantik (tidak memenuhi standar kecantikan).

Hani tidak menyerah. Ia membuktikan kalau kecerdasan jauh di atas kecantikan bahkan jauh di atas segalanya. Namun, tetap saja dirinya dipandang sebelah mata. Bahkan mungkin ia tidak pernah dilirik sama sekali, tidak dianggap keberadaannya oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk kedua orang tuanya.

Hingga di satu waktu, ayah dan ibunya menyuruh Hani berhenti sekolah.

"Tidak ada biaya untuk sekolahmu lagi. Kakakmu membutuhkan lebih banyak biaya, adikmu juga sebentar lagi masuk sekolah," kata Tamin, ayahnya.

Hani kecewa dengan ucapan ibunya. Ia melihat pada adiknya yang merupakan hantu anak kecil yang sering menunjukkan diri pada Natalia.

Anak kecil itu terlihat sedih dan merasa bersalah pada kakaknya. Ia menunduk.

"Kenapa aku tidak boleh sekolah?" tanya Hani pada ayah dan ibunya.

"Kakakmu sebentar lagi lulus dan akan bekerja di luar kota. Dia bisa menghasilkan uang. Setelah itu, kau ikut sekolah susulan saja," kata Atmi.

"Tapi, aku juga bisa belajar dan lulus lalu bekerja," sanggah Hani.

"Tidak, akan sulit mendapatkan pekerjaan di kota dengan keadaanmu," kata Atmi.

Hani terluka dengan ucapan ibunya. Ia bertanya, "Apa karena aku jelek? Apakah aku meminta dilahirkan jelek?"

Atmi dan Tamin tidak bisa menjawab.

"Tidak ada yang meminta dilahirkan jelek. Semua orang di dunia ini meminta agar dilahirkan sempurna, cantik, pintar, dan disukai orang lain. Tapi, aku tidak punya semua itu. Aku hanya punya hati, itu pun selalu disakiti," kata Hani.

🥀🥀🥀

Di saung bambu, Hani menulis dibukunya.

~Mereka sibuk memuja Tuhannya, tapi mereka selalu menghina ciptaannya. Apa Tuhan benar-benar ada? Kenapa tidak menolongku? Kenapa hanya diam melihatku diperlakukan seperti ini?~

Di saat-saat keterpurukannya, asap merah gelap itu menghampiri Hani. "Kau butuh bantuan? Aku akan membantumu. Katakan iya, maka semuanya akan segera berakhir."

Ketika ada seseorang yang melukai hatinya sedikit saja, tanpa ampun Hani menghabisi mereka dengan bantuan sosok misterius yang merasuki dirinya.

Darah mereka ditampung di saluran air dan bak mandi. Bahkan seluruh keluarganya pun tewas di tangannya. Seluruh warga desa di kaki bukit dibantai tanpa tersisa. Setelah itu, Hani melarikan diri agar tidak tertangkap oleh polisi.

Perkampungan kecil di kaki bukit mulai dilupakan dan semuanya rata menjadi tanah. Bahkan di atas rumah Hani ditumbuhi pohon yang tidak dikenal yang besarnya selalu bertambah tiap tahunnya. Sehingga besarnya melebihi pohon-pohon di sekitarnya. Getah pohon itu berwarna merah dan berbau busuk. Tempat itu pun dijadikan tempat kramat karena dianggap angker.

Hani mengambil kawat besi lalu melilitkannya ke leher. Ia tersenyum lebar.

🥀🥀🥀

"Aku bukan dibunuh oleh senjata, bukan dibunuh oleh pil, bukan juga karena dicekik atau dipukul. Aku dibunuh oleh kata-kata." _Hani_

🥀 T H E    E N D 🥀

M I S A N T H R O P E

by

Ucu Irna Marhamah

MISANTHROPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang