Part 46

76 10 0
                                    

Irgina dan Natalia terbaring di ranjang yang bersebelahan di salah satu ruangan di Puskesmas Desa Limus. Mereka sudah mendapatkan penanganan. Luka mereka sudah diobati dan diperban.

"Saat hantu itu mencekikku, aku sempat berpikir kalau aku akan mati saat itu juga," ucap Irgina. "Aku tidak bisa melihat apa pun, tapi aku merasakan nyawaku sudah di ujung tanduk."

Natalia menoleh pada Irgina. "Aku juga berpikir begitu. Seumur hidup, baru kali ini aku diserang seperti akan dibunuh saat itu juga."

Sosok ular raksasa berkepala manusia itu kembali terbayang di benak Natalia membuat gadis itu merinding.

Irgina menghela napas berat. "Jadi, mayat siapa yang kita temukan di rumah itu?"

"Entahlah, sepertinya mayat itu sudah berbulan-bulan berada di sana. Tubuhnya sudah membusuk dan sulit dikenali. Seandainya mayat itu tidak membusuk pun, kita tidak akan mengenalinya. Kita bukan orang sini yang mengenal semua orang," ucap Natalia.

"Benar juga." Irgina membuang napas kasar. Ia menatap langit-langit kamar rawat.

Hening.

Kedua gadis itu tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Terdengar suara pintu dibuka. Seorang perawat masuk. "Kalian sudah merasa lebih baik?"

Natalia menjawab, "Kami merasa lebih baik, apa kami bisa pulang?"

Suster itu tersenyum sambil menatap Natalia dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Natalia mengernyit.

Natalia menoleh pada Irgina yang menatapnya dengan tatapan bingung. Natalia kembali melihat pada suster itu yang sudah menghilang dari tempatnya. Hanya pintu yang terbuka lebar. Saat itu Natalia baru menyadari sesuatu.

"Ah, maksudku... kita merasa sudah lebih baik. Jadi, kapan kita bisa pulang, ya? Kalau kita meminta izin dokter, apakah kita akan diizinkan pulang?" tanya Natalia pada Irgina. Ia tersenyum kaku.

"Melihatmu beraksi begitu, aku jadi ingin segera pulang," jawab Irgina.

Tiba-tiba Natalia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Natalia mendengus kesal lalu membelakangi sosok suster yang mengerikan itu.

"Aku tahu kau bisa melihatku."

Lorong puskesmas tampak sepi. Tidak ada satu pun perawat atau dokter yang lewat. Tiba-tiba terdengar suara teriakan Natalia dan disusul suara teriakan Irgina.

🥀🥀🥀

Zyara duduk berhadapan dengan polisi muda. Tertera nama Zaki di tanda pengenal yang melekat di seragamnya.

"Kami dari pihak kepolisian turut berduka atas apa yang terjadi pada ibumu," kata Zaki.

Zyara tidak merespon. Ia menatap kosong ke depan. Zaki terlihat sedih. Ia mengerti dengan perasaan gadis remaja di depannya yang baru saja kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya.

"Aku tahu, seharusnya aku tidak mengatakan ini, tapi... kematian Ibu Elis sepertinya bukan kematian yang biasa. Dia dibunuh oleh seseorang. Untuk memastikannya, kami harus mengirimkan jenazah Ibu Elis ke rumah sakit di kota. Itu pun kalau kau setuju dan menandatangani surat persetujuan ini," ucap Zaki.

Zyara masih menatap kosong. Namun, ia mendengar apa yang diucapkan oleh polisi tampan itu.

Zaki menyodorkan sebuah map pada Zyara. "Ini surat persetujuan otopsi yang harus ditandatangani oleh wali korban. Kalau kau merasa keberatan, kau tidak perlu menandatanganinya. Kau bisa segera menguburkan jenazah ibumu, kalau kau tidak menyetujuinya."

Zyara mengambil map tersebut. "Kalau jenazah Ibu diotopsi, apakah pembunuhnya bisa ditangkap?"

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Tidak hanya penyebab kematian, bahkan dengan melalui otopsi, kemungkinan kami bisa...." Zaki tidak meneruskan ucapannya, karena Zyara memotongnya.

"Aku sudah sering mendengar kalimat itu. Aku sudah bosan. Para polisi mengatakan kalimat yang sama tanpa melakukan apa pun." Zyara menandatangani kertas persetujuan di dalam map tersebut. "Dan aku sudah muak. Seharunya kalian menemukan ibuku sejak lama. Pasti kondisinya tidak akan seperti sekarang ini, kalau kalian menemukannya lebih awal."

Setelah mengatakan itu, Zyara berlalu pergi. Rina yang juga sedang diwawancarai oleh polisi menoleh pada Zyara yang keluar dari ruangan.

"Dia cantik, tapi sayangnya dia galak," gumam Zaki. "Tapi, aku mengerti. Dia pasti sangat sedih atas apa yang menimpanya."

Polisi di depan Rina mengetuk-ngetuk meja. "Fokus ke mari, jangan melihat ke mana pun."

Rina kembali menatap polisi di depannya. "Aku sudah mengatakan apa yang kutahu. Aku juga anaknya jenazah yang kalian temukan, tapi kenapa aku mendapatkan perlakuan yang berbeda? Resa sudah diperbolehkan keluar."

"Kenapa terburu-buru, kau mau ke mana?"

Rina mendengus kesal.

"Kau terlihat mencurigakan. Saat adikmu menangis histeris karena kehilangan ibunya, kau malah diam dan tidak menunjukan ekspresi apa pun," kata polisi bernama Markus itu.

"Kenapa aku harus sedih? Semasa hidupnya, ibuku lebih menyayangi adikku. Oleh karena itu, adikku menangis histeris seperti itu, karena dia kehilangan orang yang paling menyayanginya," kata Rina.

"Jadi, apa mungkin kau cemburu, karena ibumu lebih menyayangi adikmu sehingga kau tega membunuhnya?" tanya Markus.

"Kenapa aku harus membunuh ibuku? Karena dia menghilang, aku harus mencari uang untuk hidupku dan untuk membiayai sekolah adikku," ucap Rina.

Markus mengangguk mengerti. "Baiklah, lalu... selama ini kau pergi ke mana?"

Rina tidak menjawab.

"Kau menghilang selama beberapa bulan setelah ibumu juga menghilang. Selama menghilang, kau pergi ke mana? Dan kenapa baru kemarin-kemarin kau kembali?" tanya Markus.

Rina menunduk. "Aku pergi ke luar desa untuk bekerja. Bukankah Pak Polisi tahu pekerjaan ibuku? Aku disuruh ibuku untuk melakukan pekerjaan yang sama setelah tidak ada lagi pelanggan yang menyewanya."

Markus mencerna ucapan Rina. Tampaknya ia tidak percaya dengan perkataan gadis muda di depannya itu.

"Apa kau bicara jujur? Kau tidak terlihat seperti gadis yang suka menjajakan tubuh pada pria hidung belang," ucap Markus.

Rina tidak merespon.

Markus memiringkan tubuhnya. "Aku sudah menikah sebanyak lima kali, dan aku tahu seperti apa gadis yang sudah tidak perawan."

"Memangnya Pak Polisi bisa membedakan gadis perawan dan gadis yang sudah tidak perawan dari mana?" tanya Rina.

"Meski aku tidak mencicipinya, aku sudah tahu dari luarnya," ucap Markus sambil menatap Rina dengan jelalatan.

Rina tampaknya tidak nyaman dengan ucapan dan tatapan Markus. Ia mengalihkan pandangannya sambil mengepalkan tangan geram.

"Wah, beginikah caranya polisi menginterogasi orang? Tapi, kenapa mereka sangat bodoh dan lamban dalam mencari orang yang hilang. Seandainya dulu kalian lebih cepat menemukan ibuku, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini." Setelah mengatakan itu, Rina bangkit dari kursi.

Markus akan bersuara, tapi Rina lebih dulu angkat bicara, "Kasihan sekali istri-istri yang pernah Pak Polisi nikahi. Mereka sangat tidak beruntung. Pria hidung belang sepertimu tidak pantas menjadi polisi."

Markus menatap punggung Rina yang berlalu keluar dari kantor polisi.

"Dia cantik, tapi galak sekali. Ngomong-ngomong ekspresinya sangat dingin seperti psikopat, padahal ibunya yang tewas." Markus bergidik merinding.

🥀🥀🥀

21.06 | 1 Desember 2020
By Ucu Irna Marhamah

MISANTHROPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang