Terik panas mentari menyengat. Para mahasiswa baru yang mengenakan jas biru muda mirip kulit telur asin itu berjajar di halaman fakultas masing-masing.
Beberapa sudah diperkenankan untuk membubarkan barisan. Namun, beberapa lagi masih diminta untuk tetap tinggal di lapangan karena tidak tertib peraturan.
Ada yang tidak memakai dasi seperti yang diperintahkan oleh tim OSPEK. Ada yang warna jilbabnya tidak sesuai. Ada yang mengenakan sepatu tidak sesuai ketentuan dan ada pula yang dihukum hanya karena kuncir yang seharusnya tiga mendadak hilang entah kemana.
"Kak, saya tidak melanggar peraturan apapun," rengek gadis yang baru dua bulan lalu diwisuda dari SMA tersebut.
"Itu kuncir kamu kan harusnya tiga. Kenapa cuma satu?"
"Sumpah Kak, tadi tiga. Beneran serius. Tapi nggak tahu pitanya yang dua ilang ke mana."
"Nggak bisa. Kamu harus di sini. Biar adil. Hanya yang tertib sesuai dengan peraturan yang boleh masuk ke kelas."
"Allahu akbar, Kak. Seriusan ih. Cuma kuncir doang."
Mendapati junior yang berani menjawab, jelas saja seniornya yang semula semanis induk kucing berubah menjadi macan.
"Bisa diam tidak! Ngerengek aja kamu! Kamu pikir karena kamu cantik kamu bisa ngerayu saya?" teriak sang senior.
Salma Naura Kanaya, nama panjang dari gadis berambut sebahu dengan netra coklat terang berpagar jeruji lentik yang tengah dibentak oleh si senior.
"Ma-maaf," cicitnya.
"Aksa!"
Suara lain tiba-tiba terdengar.
"Nggak usah pakai suara tinggi. Jaga adab. Senioritas mungkin kadang kala perlu tapi untuk bertukar ilmu, bukan begitu."
"Do, dia kelewatan. Dia berani ngerengek."
"Sudah sana, pimpin barisan lain. Yang di sini biar aku yang urus."
Alma melirik ke arah sosok dewa penyelamatnya. Laki-laki itu terlihat begitu mempesona dengan tatapan meneduhkan.
"Untuk semua yang berada di barisan depan saya, silakan meninggalkan lapangan. Hari ini kalian kami beri keringanan. Namun, jangan dijadikan alasan untuk menyepelekan kegiatan esok hari. Untuk jurusan Sastra Indonesia, boleh mengikuti saya. Jurusan Sastra Arab silakan mengikuti Kak Ilham."
Tanpa ba-bi-bu, Alma mengekor laki-laki yang telah menyelamatkannya dari sosok senior galak bernama Aksa itu.
"Ketua BEM kita santun banget ya orangnya. Duh, meleleh."
Bisik-bisik tetangga membuat telinga Alma mendadak tajam.
"Ketua BEM?" tanya Alma sembari menelengkan wajah ke arah rekan barunya.
"Iya, namanya Ridho Syaquil Az Zamzuri. Mas Ridho panggilannya. Santri loh, satu geng sama Bang Ilham yang anak Sarab."
"Sarap? Gila?" Alma membuat gerakan tangan di atas dahi.
"Bukan, Sastra Arab. Bukan Sarap."
"Oooooh!" Alma mengangguk-angguk sembari masuk ke dalam ruang besar bertulis A3.
Sebuah ruangan berukuran 10 m x7 m yang dihuni beberapa mahasiswa menjadi tempat tujuan Alma dan rekan-rekannya.
"Permisi, ini kosong kan?"
Sosok yang ditanya oleh Alma mengangguk dan menggeser kakinya agar sang dara bisa lewat.
Tak lupa senyum digores Alma sebagai ucapan terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksasmara
RomanceSetiap manusia pasti punya kisah asmara. Ada puluhan ribu kisah di luar sana. Kegagalan dalam satu hubungan, tak berarti penghakiman jika kita tak berhak bahagia. Setiap insan akan menjadi RATU dan RAJA dalam mahligai yang tepat. Kadang, kita harus...