Bab 65. Terpecah

206 24 19
                                        

Dua sore, Queen menemani jalannya prosesi lamaran dua orang sahabatnya. Dua-duanya dipinang oleh kaum Hallo Dek.

"Hei, hei, ngelamun. Itu loh tumpah airnya."

Queen segera mengucap istigfar. Ia tengah menuang air minum tetapi otaknya terbang entah ke mana.

"Queen, kamu sakit? Kok pucat gitu?"

Egi yang berada di tempat yang sama dengan Poppy, Nathan, Queen, dan Kalandra menyahut. "Ya gimana nggak pucet, kan dua bestie-nya udah ketemu pangeran. Eh, dia masih sendiri."

Ucapan Egi membuat Queen mengembus napas berat.

"Sok tau."

"Halah, ngaku aja dong putri mahkota. Lebih enak jadi rakyat jelata kan? Bisa nikah sama siapa aja. Eaaaa... Kalau putri mahkota macem dirimu ya mana ada yang berani maju."

Queen tak selera menanggapi Egi. Meski sejatinya apa yang diutarakan Egi benar, Queen tak suka jika harus mengakui hal itu. Ia berubah menjadi batu, agar dirinya tak semakin halu.

"Kak Uin!" sapa Nuansa ceria.

Alma pun mengekor. Ia begitu cantik dalam balutan kebaya pilihan sang bunda.

"Ih, kalian kok malah ikut ke balik layar. Sana-sana, acaranya belum selesai kan?"

"Udah, tinggal makan aja." Alma menjelaskan.

Di jari manisnya tersemat tanda keseriuaan dari Iqdam. Pemuda itu terlalu sat set hingga membuat Alma merasa ini hanya mimpi.

"Ayo, ayo semua makan dulu di sana. Yok, buruan, nona-nona, tuan-tuan," seru Nathan.

Tiga sahabat dan para calon suaminya pun kembali ke tempat acara, perjamuan makan di ruang keluarga rumah Salman.

"Queen, kamu nggak sekalian nyusul?" tanya Salman mencandai Queen.

Ayah Queen seketika menjawab. "Nggaak, dia masih terlalu muda untuk menikah. Masih jauh. Belum juga selesai kuliah. Dia masih harus lanjut kuliah master, bekerja, mandiri, baru nanti setelah itu boleh berpikir tentang pernikahan." Ayah Queen memang sangat keras dan tegas.

Ia diperlakukan sama dengan kelima kakak laki-lakinya.

"Loh, kalau jodohnya sudah ada gimana?" tanya Kyai Ali, ayah Nuansa.

"Jodoh? Hahaha ... Siapa berani mendekati putriku, Gus? Bentengnya saja ada enam lapis." Ayah Queen jumawa.

Queen mengulum senyum sembari mengaduk-aduk sop manten di tangannya.

"Jangan gitu lah, Bang. Kasian putrimu. Kan beda antara anak laki-laki dan perempuan. Kalau perempuan ya gini ini, jodohnya cepet."

Ayah Queen menggeleng. "Nggak bisa. Queen itu harus on track. Sesuai dengan adat keluarga kami. Setelah selesai magister, sukur-sukur doktoral sekalian, sembari bekerja, baru boleh menikah."

Beberapa anak muda di sana menatap iba pada Queen. Meski seringkali ceplas ceplos dan seolah tak berpikir saat berbicara, Queen tak lebih dari gadis tawanan di sangkar emas.

Alma dan Nuansa jelas tak enak hati pada Queen. Keduanya berencana menikah ditanggal dan hari yang sama. Sedang Queen? Ia harus legowo menyaksikan dua sahabatnya menikah.

"Kenapa sih kalian ngeliatin aku kayak ngeliat kucing terlantar di jalanan? Jangan bikin aku nyesel ya udah datang ke sini kalau kehadiranku cuma bikin kebahagiaan kalian rusak." Queen mengatakan itu dengan mode savage-nya.

"Kak Uin," lirih Nuansa.

"Habisnya, kalian ngeliatin aku kayak gitu. Aku tuh padahal seneng banget kalian akhirnya bahagia dengan pawang kalian masing-masing. Dan, aku bisa pergi dengan tenang." Queen tersenyum.

Kalandra menyahut. "Pergi? Kamu mau ke mana?"

Queen tersenyum lebar. "Lah kan aku udah cerita. Aku mau pindah ikut abangku. Kuliahku juga udah pindah ke sana dan ya, siap-siap say goodbye to Solo."

"Serius?"

Queen mengangguk sebelum kembali berusaha menelan makanan yang ia suapkan ke dalam mulutnya.

"Baik-baik di sana. Tetep galak, tetep sadis," pesan Kalandra sembari berlalu.

Queen mengacungi jempol pada Kalandra yang melewatinya. "Tetep brengsek, tetep sengak, tetep kolot juga Gus!"

Kalandra menyungging senyum. Sarkasme adalah jalan persatuan mereka.

"Kak Uin beneran mau pergi?"

Queen meringis. "Iya, nanti pas kalian nikah aku pastiin buat dateng. Tenang aja."

Sementara itu kasak kusuk terjadi di kubu laki-laki.

"Kalian ngerasa nggak sih, Shaqueena itu nggak sehat mentalnya?"

Nathan mulai bergosip. Dosen yang hampir melepas masa lajang tersebut mulai membeberkan beberapa fakta yang ia temukan tentang Queen.

Egi menyambutnya dengan senang hati, menggunjing ke sana ke mari bak ibu-ibu komplek yang tengah gabut di sore hari. Iqdam dan Kalandra hanya sebagai pendengar saja.

"Bayangin coba, jadi Mbak Queen itu nggak mudah. Kakaknya lima sukses semua. Dia pun mau tidak mau harus mengimbangi kakak-kakaknya. Belum lagi, soal cinta. Dia sama-sekali nggak bisa kenal dengan laki-laki manapun secara pribadi karena terlalu tinggi benteng pelindungnya. Kakaknya semua posesif. Pantes dia udah nggak minat nikah, karena nikah bagi dia itu syaratnya susah banget. Denger sendiri tadi bapaknya bilang apa."

"Pantes ya, Mbak Queen lebih suka tinggal di pesantrennya Gus Kala. Pasti nyaman banget bisa terbang bebas meski sebentar. Hidup di tempat di mana semua orang menjunjung tinggi adab dan akhlak. Tegasnya ya tegas untuk aturan tapi kan lebih nanusiawi di banding rumahnya yang hmm ... Luar biasa mewah tapi kayak sel itu." Iqdam menambahi.

Kalandra pada akhirnya ikut angkat bicara. "Perasaan di sini yang harga dirinya terluka itu aku. Udah dilangkahin adikku, dibanding-bandingin sama iparku. Kenapa kalian kasihannya ke Queen?"

Tawa seketika terdengar. "Sabar Gus. Sabar. Kan jodohnya Gus sudah siap. Tinggal di-Qobiltu-in. Eaaaa."

Kalandra menyungging senyum miring karena kesal pada sang ipar yang meledeknya.

"Siapmu kuwi!"

"Looh, siap loh jodohmu, Kakandaku. Siap, SIAPA, itu lebih tepatnya," sahut Egi.

Kalandra menggeplak kepala iparnya. "Jangan sampai aku cabut restuku buat kamu sama adikku!"

"Eits... Tidak perlu, kan yang berhak memutuskan Abah. Bukan anda, wahai Gus Kala."

Kalandra hanya bisa mengelus dada karena ia tidak bisa mengalahkan adik iparnya.

"Nasib-nasib, punya adik ipar modelan begini." Semua orang tertawa di sana.

***********


Holaaaaaaaa

Ada nggak sih yang mau request cerita????
Mungkin bisa juga dari tokoh2 di cerita-ceritaku yang lain...
Siapa yang mau request? Ehehehe









SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang