Bab 7. Malam Panjang

341 27 3
                                    

Pintu belakang rumah yang sudah didiami oleh keluarga Salman selama beberapa bulan terakhir itu terbuka.

Alma memastikan, benarkah sang ayah yang masuk atau bukan. Ia mengintip dari celah khusus di kamarnya. Setelah yakin jika sosok itu adalah ayahnya, barulah Alma keluar.

"Ayah, gimana kondisi Tante Laura?"

Bukannya menjawab pertanyaan sang putri, Salman malah bertanya. "Siapa? Egi atau Idam?"

Alma meringis. "Bang Egi."

"Belum kapok juga dia. Minta dipindah ke pelosok kayaknya biar kapok."

"Eh, kan Bang Egi juga bilang doang ayah di rumah Tante Laura. Nggak cerita yang lain."

Salman mencuci wajahnya di wastafel dapur sebelum ikut duduk sang putri di meja makan.

"Pencurian?" tanya Alma memancing sang ayah.

"Teror. Gimana hari ini?"

"Kuliahnya? Aman. Aku bisa mengikuti. Ada tugas baca buku dan bikin resume. Yang lain masih perkenalan sih."

"Siapa yang kenalan?" tanya Salman.

Lampu remang-remang yang menggantung di atas kepala Salman, membuat vibes ruang interogasi terasa.

"Perkenalan sama dosen pengampu materi kuliah, Yah. Bukan perkenalan aneh-aneh. Kan aku udah cerita. Teman angkatanku yang cowok 8, lainnya cewek. Dan aku yakin kalau suruhan Ayah yang suka ngintilin aku paham betul siapa-siapa aja namanya."

Salman meneguk ludah. Putrinya terlalu cerdas untuk paham jika dirinya diuntit.

"Dosen pembimbingmu masih lajang kan? Jangan terlalu banyak senyum."

Alma mendesah berat. "Iya Yah, iya. Beliaunya sudah cukup tua dan cenderung menyebalkan."

"Lalu, siapa itu Ridho. Kenapa kamu nggak pernah cerita?"

Salman menembak tepat pada sasaran. Putrinya mati kutu.

"Ayah, ayah dulu juga cinta monyet kan sama Tante Laura. Kenapa aku nggak boleh ikutan punya cinta monyet?"

"Karena kamu perempuan. Perempuan tidak boleh seenaknya menyerahkan diri dan hatinya pada laki-laki. Dunia jaman dulu dan sekarang berbeda."

Alma selalu kalah berdebat dengan sang ayah jika sudah membahas norma dan peraturan hidup.

"Terus aku nggak boleh jatuh cinta?"

"Kamu belum paham apa itu cinta. Tidak usah menggunakan kata cinta. Kagum boleh, tertarik boleh, tapi cinta, tidak. Cinta tidak semurah dan semudah yang orang kira. Di luar sana, banyak anak jaman sekarang salah kaprah perihal cinta. Dan ayah tidak mau kamu ikut terlibat di dalamnya."

Alma memanyunkan bibirnya. "Kalau suatu hari nanti ada orang datang ngelamar aku, apa ayah bakal ngelepasin aku?"

Salman mendadak membuang tatap ke arah lain. Pertanyaan sangat sulit yang masih belum mampu ia jawab untuk saat ini jelas membuat Salman lebih memilih untuk mengindarinya.

"Sana tidur. Besok kuliah pagi, kan?"

Alma mengembus napas. "Ayah, jangan sampai aku jadi Queen ke dua, ya."

"Queen? Queen temenmu? Adiknya Pak Kapolsek?"

Alma mengangguk. "Dia nggak bisa napas, Yah. Kesian banget. Abangnya pertama jadi Kapolsek, abang keduanya Dandim, abang ketiganya dokter, abang keempatnya wakil Sekda, abang kelimanya jadi dosen di kampus kami. Mana bisa bernapas dia. Udah cewek sendiri, paling bontot pula. Hmm..."

Salman terkekeh. "Justru enak dong. Kakaknya jadi polisi, tentara, dokter, PNS di Pemkot, dosen, mau ngurus apa-apa enak. Kemana-mana juga pasti abang-abangnya bakal kasih kawalan spesial."

"Enak dari mananya, Yah. Dia malah mewek terus, pengen kabur katanya. Di rumah udah kayak camp militer. Punya temen juga cuma aku sama Nuansa. Temenan ama yang lain nggak dibolehin."

"Semua orang punya cerita masing-masing. Nikmati saja jalan ceritamu dengan cara bersyukur dan melihat segala hal dari sisi positifnya." Salman mengelus kepala sang putri dengan keras seperti biasa.

Alma menghentikan tindakan sang ayah. Ia menarik tangan kokoh itu ke bawah, dan menempelkan pipinya di sana.

"Yah, apa ayah pernah berpikir kalau bisa menukarku dengan kakak, apa ayah akan melakukannya?"

Salman menatap manik sang putri. "Jangan pernah tanya hal-hal yang seperti itu. Kenapa perempuan selalu saja memojokkan laki-laki dengan pertanyaan mengerikan?"

Alma terkikik. "Ayah kangen kakak kan? Ayah pengen ketemu kakak, kan?"

Salman mendekap kepala putrinya erat, sangat erat. Alma sudah terbiasa, sehingga ia tidak protes. Mungkin kalau gadis lain yang menerima perlakuan seperti itu, sudah pingsan sejak detik kedua didekap karena kehabisan napas.

"Ayah nggak akan pernah bisa memilih antara kalian berdua. Kalian hidup ayah. Kalian putri  tercinta ayah. Kalian mempunyai kedudukan yang sama di dalam hati ayah sampai kapanpun. Ayah selalu berdoa, kita bisa dipersatukan kembali sebelum ayah meninggalkan dunia ini. Itu permintaan terakhir ayah."

Salman mengecup puncak kepala si bungsu.

"Ayah pasti khawatir sama keadaan kakak ya?"

"Ayah selalu khawatir pada kalian berdua. Di satu sisi, ayah senang bisa membersamaimu, dari kecil tapi jangan pikir ayah tidak khawatir. Musuh ayah banyak di luar sana. Para tersangka atau keluarganya yang kasusnya pernah ayah tangani, mungkin dendam dengan ayah dan bisa saja mengincarmu seperti kejadian waktu itu. Ayah merasa bersalah karena gara-gara kamu ikut ayah, identitasmu terendus musuh ayah. Sementara, di sisi lain, walau ayah juga khawatir akan hidup kakakmu yang jauh dari ayah, tetapi ayah malah senang, dia aman. Tidak ada orang yang tahu dia putri ayah. Tidak ada yang mengincarnya. Dia aman karena tidak terlibat apapun dengan ayah."

Di satu sisi, Alma lega. Kecemburuannya pada sang kakak selama ini terjawab sudah. Ayahnya ternyata juga sangat menyayanginya.

"Aku janji nggak akan bikin ayah sedih."

Salman mengecup kening putrinya. Si kecil berpipi chubby itu kini sudah tumbuh menjadi gadis nan cantik mempesona.

"Nak, ayah pesan satu hal sama kamu. Kalau bisa, sempurnakan keimananmu, identitasmu sebagai muslimah. Jiwai betul nilai-nilai agamamu. Pergunakan pakaian sesuai dengan tata cara yang Allah perintahkan. Ayah tidak memaksa untuk segera kamu tunaikan, tapi ayah selalu berdoa semoga Allah segera mengetuk pintu hatimu, dan bisa segera menjalankan kewajibanmu sebagai seorang muslimah sejati."

Alma menatap netra sang ayah. Baru kali ini, sang ayah menatapnya dengan tatapan memohon seperti itu.

"Insyaallah Yah, doain Alma ya. Pelan-pelan Alma belajar dari Nuansa."

Salman mengangguk. "Ayah yakin pergaulan yang baik akan membawa dampak baik juga bagi kamu. Lingkungan sangat mempengaruhi, Nak."

"Iya, Yah. Ayah mau mandi? Airnya udah panas tuh. Udah mendidih."

Alma menunjuk ke arah kompor dengan panci bertengger di atasnya.

"Makasih kesayangan Ayah."

"Sama-sama kesayangan Alma," balas Alma.

Ayah dan anak itu memang kadang membangun hari sekeras camp militer, tetapi kadang mereka membangun hari selembut sekolah PAUD.

*****

Mau up lagi nggak ya?

Mulai masuk nggak nih ceritanya...

🤣🤣🤣🤣🤣

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang