Pakaian bak gelandangan dengan sepeda kayuh dimodifikasi seperti penjual kopi keliling, dikenakan oleh Egi. Ia tengah libur hari ini tetapi melakukan tugas khusus yang diberikan oleh ayah Nuansa padanya.
Ia hari ini mangkal di daerah tempat di mana pabrik milik keluarga dari orang yang dicurigai oleh ayah Nuansa berada. Tujuh tahun ia menjalani profesi sebagai abdi negara dengan spesialisasi sidik menyelidik, sehingga hal begini kecil baginya.
"Di dalem itu banyak ya, Mas karyawannya? Pabrik apa sih, Mas? Butuh karyawan lagi nggak ya, Mas?"
Salah satu pelanggan kopi yang tengah menikmati makan siang dan bersantai itu menjawab pertanyaan Egi.
"Oh, mau ngelamar di sini?"
"Ini pabrik apa to, Mas?"
"Di sini itu macem-macem. Satu pintu tapi beda-beda. Bukan pabrik tapi gudang distributor barang-barang toko."
Egi mengangguk-angguk. Satu poin ia dapat. Padahal yang terdaftar pada ijin usahanya, seharusnya bangunan itu adalah pabrik obat herbal.
"Gila! Gue tadi hampir mati, nyedot setabung terus bocor."
Egi menajamkan telinga. Ia mencandai orang yang berbicara dengan narasumbernya tadi.
"Nyedot apa Mas kok sampai mati?"
"Biasa, gas."
"Gas?" Egi berlagak bodoh.
"Iya, ssst jan bilang-bilang tapi."
Egi mengeluarkan jurus koplonya. Ia benar-benar lihai berlagak bodoh dan tolol.
"Gas disedot? Kentut maksudnya?"
"Bukan, bego. Gas tabung biru, disedot terus disuntik ke tabung-tabung kecil. Nggak usah isi ke pengisian gas, tinggal mainin aja yang ada. Yang biru dikurangi, yang ijo disuntik dikit. Dijual harga sama dengan asli. Toh nggak ada yang bakal nimbang itu gas. Paling ngebatin doang kok cepet abis."
Egi kembali mendapat informasi.
"Wih, bisa gitu? Keren banget. Emak saya butuh info begitu tuh."
"Ngoplos barang yang udah kadaluarsa kami juga bisa. Nanti dijual lagi dengan harga sama. Tapi diem aja lu. Makanya karyawan sini kagak mau belanja di toserba ujung sana. Padahal pemiliknya sama dengan pimpinan gudang kami."
Egi terus menggali info. Benar ternyata memang ada praktik kecurangan di sana. Ia segera mengirimkan apa yang ia daoat pada sang Kyai.
Tak lama ponselnya berdering. "Nak, kamu bisa ke pondok sekarang? Abah mau bicara tapi sekalian menghadiri pengajian ya?"
"Siap, Ndan! Eh, siap Abah. Segera meluncur."
Egi pun memberesi dagangannya.
"Lah, Mas, iki lo belum tak bayar!"
"Ndak usah, Mas. Gratis."
"Lah? Piye to. Rugi no sampeyan!"
Egi tak peduli, ia segera mengayuh sepedanya ke arah pondok pesantren milik keluarga Nuansa. Butuh waktu sebelas menit untuk sampai ke sana dengan kayuhan sepeda super cepatnya.
"Maaf, Gus. Nunggu lama?"
"Ya Allah, kamu naik sepeda, Mas?" Umi Nuansa terkejut.
Egi baru sadar sesuatu. Ia masih dengan dandanan gembelnya.
"A-anu, nggih, Umi. Ijin ganti baju dulu, nggih?"
"Iya, iya, silakan. Monggo."
Kalandra dan kedua orang tuanya mempersilakan Egi menggunakan kamar mandi di masjid keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksasmara
RomanceSetiap manusia pasti punya kisah asmara. Ada puluhan ribu kisah di luar sana. Kegagalan dalam satu hubungan, tak berarti penghakiman jika kita tak berhak bahagia. Setiap insan akan menjadi RATU dan RAJA dalam mahligai yang tepat. Kadang, kita harus...