Day by Day Flows...
Bayi berpipi gembil itu menggeliat. Kaki dan tangannya bergerak-gerak
"Aaaaaaa!!"
Ia berteriak-teriak tak jelas. Alma terkekeh melihat tingkah keponakannya. Berkali-kali ia menciumi si gembil yang mulai berfungsi inderanya.
"Assalamualaikum! Gantengnya Ibu."
Alma menggoda bocah itu. Suara-suara khas bayi terdengar begitu menggemaskan.
Menjadi bungsu dan besar tanpa sosok saudara, membuat Alma selalu kesepian. Dan kini, ia merasa punya teman hidup. Meski harus terbangun tiap malam. Harus mengerjakan tugas kuliah sembari menggendong Jeno, tak masalah baginya.
"Assalamualaikum, gantengnya Kakek!"
Sosok berpakaian serba hitam itu masuk. Wajahnya berbinar.
"Wa alaikumussalaam, Kakek! Yeeey, kakek pulang Nono. Kakek pulang! Eh, tunggu, udah cuci tangan belum?" tanya Alma.
Pergerakan Salman terhenti. "Keburu kangen sama jagoan! Cium dikit dulu."
"Nggak boleh. Ayah harus mandi dulu, ganti baju, baru boleh pegang."
Hampir seminggu, Salman LDR dengan cucunya karena tugas luar.
"Al, ayah udah kangen banget."
"Nggak bisa! Ayah mandi dulu sana. Ih, jauh-jauh dari Jenoku." Alma segera mengamankan Jeno dari sang kakek.
Salman akhirnya menyerah. Demi kebaikan memang. Ia pun bergegas keluar dan memanggil istrinya.
"Sayaaaang! Sayaaaang! Al, Bunda mana!"
"Bunda di kamar, Yah. Bunda nggak enak badan."
Salman segera mengecek ke kamar yang berada di bawah tangga. Ia menemukan istrinya di sana. Wajahnya terlihat pucat. Terbaring di atas kasur.
"Sayang? Kamu kenapa? Kok nggak ngabarin kalau sakit?"
Laura membuka matanya. Ia segera mengubah posisinya, duduk.
"Mas, udah pulang. Katanya besok baru selesai?"
Salman mengulurkan tangannya dan disambut oleh Laura penuh hormat.
"Iya, ternyata hari ini udah selesai. Jadi ya langsung pulang. Udah kangen banget sama Jeno."
Laura tersenyum sekilas sebelum menutup mulutnya. Ia berlari ke arah kamar mandi.
"Sayang! Ya Allah, ke rumah sakit yuk. Ayo buruan ganti baju, kita ke rumah sakit."
Laura terus mengeluarkan isi perutnya. Salman jelas panik. Ia menemani sang istri di kamar mandi. Laura benar-benar sudah sangat lemas.
Tanpa pikir panjang, Salman menggendong sang istri ke ranjang.
"Bun? Bunda? Mual lagi?" Kini, Nathan muncul di dekat pintu.
"Ko, kenapa nggak bilang ayah kalau Bunda sakit?"
Nathan malah tersenyum sembari membawa masuk salad buah dan beberapa bungkus vitamin yang baru ia beli.
"Yah, memang kan kayak gitu. Namanya juga orang hamil. Ya wajar."
Mendengar ucapan sang putra sambung, Salman menatap wajah istrinya dengan sorot tajam.
"Hamil?"
Laura tak berani menjawab. Ya, benar, ia tengah mengandung anak dari pria yang sudah berusia empat puluh tiga tahun tersebut.
"Ih ayah, sok kaget. Padahal bikin-bikin sendiri, giliran jadi eh kaget. Lucu banget. Nih, Bun. Dimakan saladnya. Biar dedekku sehat. Nanti jusnya dibawain Poppy. Sama vitaminnya juga udah Nat stokin lagi nih. Nathan tinggal dulu, mau gantian jagain Jeno."
Nathan segera pergi pasca mengecup pipi ibunya dan memeluk sekilas ayahnya.
"Mas ... Maaf." Laura lirih berucap.
Salman masih mematung.
"Aku nggak tahu, aku pikir kemarin aku udah mulai tanda-tanda menopause. Aku nggak curiga waktu terlambat haid. Dan ternyata...."
Laura paham, Salman tak menginginkan hal ini. Mereka berdua sudah sepakat untuk tidak menambah anak lagi karena ada Jeno yang membutuhkan kasih sayang keduanya.
"Kamu bilang kamu KB kan? Kamu bohong?"
"Mas, aku pikir waktu itu udah aman karena memang aku udah dua bulan nggak haid. Aku pikir memang aku udah nggak subur lagi jadi aku stop KB juga. Maaf."
Salman menatap Laura yang menangis di atas kasur.
"Kamu bohong sama aku, Ura? Kenapa kamu nggak bilang dari awal biar aku bisa lebih hati-hati!"
Laura terkejut suaminya berbicara dengan nada tinggi. Jendra yang tak sengaja mendengar sang mertua berucap penuh amarah pun mendekat.
"Ayah, Bunda, maaf, ada apa? Kenapa ayah bentak Bunda?"
Laura menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya berguncang.
"Bundamu sudah bohong sama ayah. Dan sekarang dia hamil."
"Yah, itu rejeki namanya. Alhamdulillah kan, ayah dan bunda dititipi lagi rejeki dari Allah setelah ayah dan bunda kehilangan Maura." Jendra menengahi.
"Bundamu sudah tua. Bundamu beresiko tinggi untuk hamil dan melahirkan di usia ini. Cukup ayah kehilangan Maura. Ayah tidak sanggup harus kehilangan wanita ayah untuk kedua kalinya. Tidak."
Laura pun terbawa emosi. "Mas, aku yang akan menanggungnya. Ini anakku. Aku akan mempertahankannya."
"Tidak. Tidak. Aku yang berhak memutuskan! Aku tidak mau kamu meregang nyawa hanya karena kecelakaan ini."
"Maksudmu apa? Kamu mau aku menggugurkan darah dagingku sendiri, ha? Jangan harap. Lebih baik ceraikan aku sekarang juga. Dan anak ini akan aku bawa. Aku nggak peduli nyawaku taruhannya."
Salman menahan tubuh Laura yang berusaha pergi menjauh. "Ra! Ini demi kebaikan kamu!"
"Kebaikan? Kebaikan apa? Anak ini ada di sini karena memang titipan. Untuk kita rawat dan jaga! Lalu kamu mau membunuhnya? Ayah macam apa kamu, Mas!"
Salman jelas bimbang. Ia tidak mau jika apa yang menimpa Maura juga menimpa Laura.
"Ra! Dengarkan aku... Kamu hidupku, Ra. Cukup aku, kamu, Alma, Nathan, Jendra dan Jeno yang ada di keluarga ini." Salman tetap teguh pendirian.
Laura mendorong Salman menjauh tetapi pria itu tak goyah. Justru goncangan itu membuat Laura merasakan nyeri hebat di perutnya.
"Aah!" pekiknya.
"Ra! Ura!"
Laura menepis tangan Salman. "Jen... Jendra tolong Bunda Jen. Perut Bunda sakit, Jen."
Laura menangis sembari memegang perutnya. Ia mencengkeram tangan Jendra.
Salman pun jelas tak tega melihat istrinya begitu kesakitan.
"Jendra! Ambil kunci mobil!" titah Salman sembari menggendong Laura ke luar.
Jendra pun bergerak cepat. Alma dan Nathan yang tak paham apa-apa mencoba mencari tahu sembari menggendong Jeno keluar.
"Yah, Bunda kenapa?!" teriak Alma.
Namun, tiga orang tadi keburu pergi.
"Al, kita susul mereka!" Nathan pun mengambil kunci mobilnya."Iya! Iya, tunggu dulu aku bawa tas perlengkapan Jeno dulu, Koh."
Alma segera meraih tas Jeno dan ponselnya sebelum keluar, mengunci pintu dan mengikuti Nathan masuk ke dalam mobil.
"Ya Allah, semoga Bunda sama dedek bayi nggak kenapa-kenapa," ucap Alma.
✨✨✨✨✨✨✨
Assalamualaikum
Hai semuaaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksasmara
RomantizmSetiap manusia pasti punya kisah asmara. Ada puluhan ribu kisah di luar sana. Kegagalan dalam satu hubungan, tak berarti penghakiman jika kita tak berhak bahagia. Setiap insan akan menjadi RATU dan RAJA dalam mahligai yang tepat. Kadang, kita harus...