60. Usut Mengusut

165 22 7
                                    

Wajah penuh luka Zulfikar terlihat mengerikan. Ia, babak belur dihajar oleh saudara seayah beda ibu yang tengah menuntut pengakuan dari sang ayah.

Kedua orang tua Zulfikar kini saling bersitegang. "Gara-gara perbuatanmu di masa lalu, putraku jadi seperti ini!"

Wanita berhijab syar'i itu menatap suaminya penuh kebencian. Ia tidak terima putranya terluka parah karena dikeroyok oleh anak dari suaminya dengan wanita lain.

"Umi, sudah Umi. Sudah. Bukan salah Abi."

Zulfikar berusaha menenangkan sang ibu. Kalandra yang berada di sana bersama dengan Salman dan dua anggotanya yang mengusut kasus ini menjadi penonton drama keluarga Kyai Furqon.

Dikarenakan sudah cukup dalam meminta keterangan awal pada korban dan dengan pertimbangan kondisi kesehatan yang masih belum stabil, Salman pamit.

Sembari berjalan ke luar, Salman beebicara.

"Lihat itu, masa lalu bisa jadi boomerang atau bom waktu. Jadi, jangan pernah menyepelekan setiap tindakan kita. Bisa saja kesalahan kita tertutup rapi sekarang, tetapi suatu waktu akan terbongkar juga dan efek ledakannya lebih kuat," ucap Salman pada dua anggotanya.

Iqdam dan Egi mengangguk, membenarkan.

"Dam, kamu punya catatan apa di masa lalu?"

Iqdam segera berpikir. "Siap, Ndan. Saya punya catatan setiap mata pelajaran dan mata kuliah yang saya ikuti. Saya juga punya catatan lirik lagu yang diberikan Bang Egi agar tidak cuma pegang kicrikan waktu berpura-pura jadi pengamen. Saya juga punya catatan harga sembako, catatan utang kopi anak-anak kantor. Dan, catatan tentang Nona Bos."

Salman menatap aneh pada anggota termudanya itu. Egi menahan tawa. Wajah datar Iqdam membuat Egi ingin sekali mengobok-obok rupa sang rekan tim.

"Saya serius, Dam."

"Siap, saya juga serius, Ndan."

Salman mengembus napas. "Catatan tentang masa lalumu maksudnya, tentang kenakalanmu, kejelekanmu, keburukanmu, dan apapun itu. Mantan pacarmu mungkin."

"Oh, kalau itu ... Saya pernah lupa makan rambak di warung bakso tapi pas bayar lupa rambaknya nggak disebut. Tapi sudah saya bayar kok, Ndan. Saya juga pernah ghosob sendal waktu di pondok, soalnya sendal saya juga sering ilang. Kalau mantan, jangankan mantan, Ndan. Dekat dengan perempuan saja saya tremor."

Egi tidak bisa menahan tawanya lagi. Memang Iqdam kadang sepolos itu.

"Tapi kenapa dengan Alma kamu biasa saja?"

Iqdam menelan ludah. "I-itu karena ...."

Salman dan Egi menunggu jawaban Iqdam.

"Apa?" Salman menuntut.

"Maaf, Ndan selama ini saya anggap Nona Boss itu laki-laki. Saya tidak pernah menganggapnya perempuan. Agar saya nyaman mengawalnya kemanapun Nona Bos pergi. Itu yang terekam di otak saya. Sama seperti Poppy dulu. Saya juga menganggapnya laki-laki, makanya saya bisa bicara santai dengan dia."

Egi kembali terbahak. "Sama weeeh! Emang Nona Boss kita itu nggak ada cewek-ceweknya."

Salman menggeplak kepala Egi. "Kamu ngatain anak saya?!"

"Siap Salah, Bro Man." Egi segera minta maaf.

"Kenapa tadi kamu bisa pelukan dengan Alma, hm?"

"Itu karena Nona Boss yang lari dan meluk saya duluan. Saya aja kaget, Ndan. Saya kaget. Saya bingung."

"Tapi kamu seneng?" cecar Salman.

Ketiga orang itu tanpa terasa sudah berada di samping mobil milik Salman.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang