Bab 3. Cerita Kala Senja

438 31 3
                                    

Guyur hujan menemani senja. Jingganya luntur tiba-tiba terkoyak mendung. Alma mendongakkan kepala, menyambut rintik yang menerpa wajahnya.

Netranya tersita pada sarang burung di atas pohon cemara dekat kamarnya. Ada induk burung yang tengah berjuang di sana, melindungi empat bayi burung yang minggu lalu baru menetas.

Sesayang itukah ibu pada anaknya? Kalau iya, kenapa mami ninggalin aku sendiri sama ayah? Kenapa mami pergi hanya karena alasan ekonomi?

Pikiran Alma melanglang buana. Ia masih belum bisa paham jalan pikiran ibunya. Benarkah sejahat itu sang ayah hingga ibunya memilih hengkang dari kehidupan pria pengayomnya? Atau memang sang ibu yang tak tahu diri meninggalkan dirinya dan sang ayah begitu saja.

Apakah di luar sana, sang kakak juga bahagia? Pernahkah terbesit kerinduan di hati Maura atas dirinya dan sang ayah kandung?

"Dek! Adek!"

Teriakan sang ayah membuat Alma tersadar.

"Iya, Yah! Alma di sini!"

Sosok itu membuka pintu dan segera mendekap sang putri. Napasnya memburu. Alma dulu sering protes jika sang ayah sudah begitu. Namun, ia perlahan paham apa yang dirasakan ayahnya.

Selepas ashar tadi, sang ayah tertidur di atas sajadah. Ia pasti memimpikan sesuatu yang berkaitan dengan kasus yang tengah ia tangani.

Tangan Alma mengelus punggung sang pria.

"Kenapa lagi Yah? Kasus apa lagi?"

Salman mengecup kening putrinya beberapa kali. Ia memastikan jika dirinya tidak sedang bermimpi.

Meski berusaha menepis pikiran tentang kasus yang tengah ia selidiki, alam bawah sadar Salman tak bisa berbohong. Ia begitu takut jika kejadian itu menimpa putrinya.

"Kasus remaja jalanan. Awalnya kami nggerebek diskotik dan banyak anak di bawah umur yang terjaring. Banyak yang ... menyalahi syariat. Beberapa digelandang ke kantor. Setelah diperiksa ada yang tes urinnya positif hamil. Seumuran kamu. Dia mengaku ini bukan yang pertama dan hal itu justru malah membuka tabir kejahatan lain. Tentang praktek aborsi yang ternyata sudah marak dilakukan para remaja jalanan itu."

Alma menatap mata sang ayah. Netra sang pria menyiratkan sesuatu yang lebih.

"Terus?"

Salman menghela napas terlebih dahulu. "Saksi kuncinya, anak itu, ditemukan meninggal dalam kondisi perdarahan hebat. Padahal dari dia, tim bisa mendapat semua informasi. Dia, masih seumuran kamu. Baru lulus SMA. Dia dijual orangtuanya demi uang."

"Innalillahi wa innailaihi rojiun."

Salman menangkup wajah sang putri. "Salma Naura Kanaya Hamid, dengarkan ayah. Ayah mohon, tolong, jaga dirimu baik-baik. Tidak setiap saat ayah bisa jaga kamu. Ayah hanya bisa pasrahkan kamu juga kakakmu pada Allah. Ayah hanya bisa menitipkan kalian pada Allah. Tapi, meski begitu, tolong berusahalah untuk terus membentengi diri dengan keimanan. Semua hal diatur syariat bukan karena main-main saja. Pasti ada akibat buruk jika kita melanggar peraturan. Jangankan peraturan agama, peraturan lalu lintas pun kalau dilanggar bisa menimbulkan kerugian untuk diri kita dan orang lain. Paham?"

Alma hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata. Ia bisa melihat curahan kasih sayang sang ayah padanya. Sinar itu, begitu hangat menembus lorong kesunyian hatinya.

Meski ia tak pernah merasakan kasih sayang ibu, ia tetap merasa hidupnya sempurna.

"Insyaallah, Yah. Doain aku terus ya, Yah. "

Salman mendekap sang putri bungsu. Sejujurnya bukan Alma yang ia takutkan masa depannya, tetapi Maura.

Ia bahkan sudah begitu lama tak bersua dengan putrinya. Ada rasa ingin melacak keberadaan sang putri setelah terakhir kali mereka bertemu tanpa sengaja ketika Salman dikirim untuk tugas di Jakarta.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang