Pelukan hangat Salman memang sempat membuat Laura hanyut, tetapi ia sadar sesuatu.
"Mas, Mas demam?"
Tangan wanita itu segera memegang kening dan pipi sang pria bergantian. Mata sayunya tak dapat bohong.
"Aku kayaknya mau flu. Dari kemarin batuk juga."
"Ya Allah. Sini duduk dulu eh kalau nggak tiduran dulu di kamar Nathan. Aku bikinin jahe hangat dulu. Udah makan belum?"
Salman menggeleng. "Tadi aku ngurusin Maura, aku lupa kalau belum makan seharian."
"Astagfirullah. Ya udah Mas ke kamar dulu. Biar aku siapin makannya. Dek! Adek! Sayang! Ayah pulang nih," teriak Laura masih dengan nada paniknya.
Alma segera turun. Ia mendekat. "Ayah kenapa pulang?"
Salman memeluk putri bungsunya. "Ayah kangen kamu."
Alma mencebik. "Hilih, kangen aku tapi yang dipeluk duluan Bunda."
Salman terkekeh, ia menggendong putrinya masuk ke kamar yang ditunjuk oleh Laura. "Eh, ayah! Aku berat loh! Ayah demam ya? Kok panas badannya?"
Pria itu tak menjawab. Ia membaringkan sang putri sebelum ikut berbaring di samping Alma.
"Yah, emang kakak nggak apa-apa ayah tinggal?"
Salman memejamkan mata dan mendekap erat putri yang tadi sempat ia tampar.
"Kakakmu sudah punya pengawal pribadi yang akan mempertanggungjawabkannya sampai akhirat. Nggak perlu khawatir."
Alma mendecak lidah. "Hmm, jadi besok kalau aku udah nikah, ayah juga bakal nggak peduli sama aku?"
Salman terkekeh. "Kenapa kalian berdua sama-sama cerewet, hmm? Kakakmu selalu mengoceh juga setiap kali ayah dekap begini. Kenapa kalian mirip dengan Laura hmm?"
"Karena aku sama kakak anaknya Bunda Laura dan Ayah Salman," celetuk Alma.
Pria itu mengecup puncak kepala putrinya. "Ya, ya, dua putri dan satu putra. Sayangnya nggak imbang ya?" gumam Salman.
"Ya, kita tunggu dedek bayi lahir. Semoga aja cowok biar pas, Koh Nathan, Kak Maura, aku, dan dedek bayi cowok."
Salman membuka matanya. "Dedek bayi?"
"Iya, kan ayah sama bunda menikah. Terus ada dedek bayi. Adikku sama koko dan kakak."
Salman terbahak. "Kamu beneran mau punya dedek bayi?"
Alma membenahi posisinya. "Iya dong, mau banget. Aku nggak mau jadi bungsu. Nuansa aja punya dedek bayi lagi, aku juga dong harus punya dedek bayi."
Di tengah obrolan itu, Laura masuk. "Ngobrol apa sih? Seru banget. Mas, diminum dulu nih. Anget."
Salman mengubah posisinya, duduk di tepi ranjang. Ia mengucap terima kasih sebelum meminum jahe hangat buatan Laura.
"Ngomongin dedek bayi. Alma nggak mau jadi bungsu! Pokoknya Alma harus punya dedek bayi banyak," ucapnya.
"Ya Allah, Nak. Kenapa sih dari kemarin ngomongin dedek bayi terus? Hm?" Laura menggeleng-gelengkan kepala.
"Bentar lagi kan keponakan kamu lahir. Akan ada bayi di sini."
"Tapi dedek dari perut Bunda juga lahir. Kapan sih Bunda? Nunggunya lama ya?" tanya Alma dengan polosnya.
"Mas, putrimu itu loh, hmm... Boleh nggak sih aku gigit? Gemes tahu!" Laura gemas dengan ekspresi Alma yang selalu excited dengan dedek bayi.
Ia masih berpikir jika Laura kini tengah mengandung akibat kejadian bermalam dengan sang ayah bulan lalu.
Salman tak ambil pusing. Ia melanjutkan menyendok makanan yang disajikan oleh Laura dan sesekali meminum jahe hangatnya.
"Kalau memungkinkan, Maura dan Jendra besok ke sini. Kebetulan per bulan depan Jendra juga pindah tugas ke Solo. Jadi ya sudah, mereka akan pindah ke sini."
Alma dan Laura menyambutnya dengan senang hati.
"Mas, kita nanti ajak jalan-jalan mereka ya? Maura bilang kalau udah lahiran, dia mau ngajar lagi. Dia pengen mewujudkan cita-citanya jadi guru. Dan, aku akan memberinya tempat khusus di sekolahku."
"Idih, Bunda KKN. Ih, nanti ditangkap polisi looh!"
"Biarin, kan Ayanknya Bunda Pak Polisi," balas Laura.
Ketiganya tertawa. "Dih, iya deh iya, mentang-mentang mau jadi anggota pinky squad," ledek Alma.
Laura tersipu, padahal ia termakan kata-katanya sendiri.
"Kenapa? Salah tingkah?" tanya Salman.
Laura menggeleng. "Enggak. Eh, bentar. Sini, ditempel ini dulu biar nggak tambah panas."
Salman merasakan dahinya tiba-tiba terasa dingin.
"Ini apa?"
"Kompres demam anak bayi," kata Alma sambil tertawa.
"Astaga, Ra, ngapain sih pakai beginian? Emang aku bayi?"
"Udah nggak usah protes. Mas bobok aja sekarang, jangan dilepas koyo turun panasnya. Kalau sampai lepas, aku marah sama Mas."
Laura membenahi letak plester turun panas milik Salman.
"Ra ... Aku ini bukan bayi. Aku ini aset negara loh, garang di lapangan, pemburu kriminil. Mosok kamu pasangin kayak gini!"
"Nggak mau tahu, pokoknya kamu harus nurut. Ini demi kebaikanmu. Kamu kan kalau udah demam, panas, suka tinggi banget. Nanti ujung-ujungnya masuk rumah sakit. Kebiasaan dari kecil kalau demam sampai step, kejang-kejang."
Laura mengeluarkan serentetan kalimat ampuhnya membuat Salman diam.
"Siap Salah, Ibu Laura Salman Al Hamiid."
Wanita itu tersipu. "Good job, have a nice dream."
Salman mengangguk dan memberi finger heart pada calon istrinya. Laura segera menutup pintu sembari tersenyum malu-malu.
Alma menatap jengah ke ayah ibunya.
"Love birds," sindirnya.
Salman menyerang sang putri. Menyembunyikan wajahnya di perut putrinya.
"Ayah kenapa?"
"Ayah malu. Argh! Kenapa sih Bundamu bisa bikin ayah kayak gini lagi. Padahal kemarin ayah sempat ragu mau beneran nikah sama bunda atau enggak. Tapi, nyatanya selama seminggu ini ayah justru nggak bisa lepas dari bayang bundamu. Tiap tidur pasti dia selalu datengin ayah di mimpi. Argh!"
"Astagfirullah, ayah butuh diruqyah? Alma panggilin Abinya Nuansa ya?"
Salman menggeleng. "Ayah butuh Bundamu, pengen peluk lagi tapi takut. Belum sah."
"Yah, geli banget ih." Alma mengernyit jijik.
Salman tak peduli. "Lauraaa Delvina! Sarangahae!"
Teriakan itu bahkan terdengar sampai di luar kamar. Queen dan Nuansa bertepuk tangan senang, mendengar kebucinan Salman dari balik pintu kamar.
"Ciee, Onty Laura cie... Berhasil naklukin Om Polisi," ledek Queen.
"Ih, apaan sih. Udah sana bobok. Besok pagi kita sarapan di luar ya?"
Laura yang tersipu segera masuk kamar.
Mas Aman, bikin jantungku nggak aman. Ya Allah, Jumat masih lama banget sih? Tiga hari rasa tiga tahun, batin Laura.
🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀
Halo semua halo semuaaaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksasmara
RomanceSetiap manusia pasti punya kisah asmara. Ada puluhan ribu kisah di luar sana. Kegagalan dalam satu hubungan, tak berarti penghakiman jika kita tak berhak bahagia. Setiap insan akan menjadi RATU dan RAJA dalam mahligai yang tepat. Kadang, kita harus...