Bab 38. Mendung Dalam Hati

158 18 4
                                    

"Selaksasmara."

Gumaman Alma terdengar.

"Apa maksudnya?" Monolog sang dara.

Pertanyaan itu mengundang Nathan untuk menjawab. "Itu dari kata Selaksa dan Asmara. Selaksa artinya sepuluh ribu, bisa juga sangat banyak, atau bermacam-macam. Tergantung kata yang mengikutinya. Kalau asmara ya cinta, kasih. Selaksasmara artinya bermacam-macam cinta, kisah percintaan."

Bibir gadis yang tengah menikmati es krim itu membentuk huruf O, bulat.

"Jadi, maksudnya kisah cinta yang bermacam-macam?"

Nathan mengangguk. "Mungkin penulisnya ingin menunjukkan beberapa jalan kisah asmara para tokoh. Tidak hanya satu, dua pasang saja."

"Kompleks juga ya," sahut Alma.

Nathan kembali mengangguk. Ia mengode adik tirinya untuk menyuapinya.

"Mbak Poppy nggak jadi datang, Koh?"

Nathan seketika mengembus napas berat. "Nggak tau lah. Dia rada aneh akhir-akhir ini. Mungkin pusing karena kuliahnya kan udah mulai intensif. Jadi ya gitu. Kerjaan yang aku kasih pun dia kerjain di rumah."

"Kalian cocok loh," celetuk Alma.

Nathan mengerutkan kening. "Aku lebih cocok sama kamu. Kita nikah aja yuk? Seru kan, anak dapet anak, orang tua dapet orangtua."

Alma mengembus napas. "Candaanmu horror, Koh. Boro-boro nikah. Mau ngaku kalau kita kakak adekan aja, nggak berani. Apa jadinya kalau kita nikah? Bisa dihujat satu kampus."

Nathan terbahak. Obrolan dua orang itu mendadak terhenti saat ada tamu datang.

Posisi Alma memang sedang menyuapi Nathan yang tengah menyandarkan kepala di kakinya.

"Astagfirullah! Adek!"

Kedua orang itu mendadak terkejut karena seseorang menarik Alma menjauh dari Nathan.

"Kalian ngapain berduaan begitu? Kalian belum halal! Kamu juga, sebagai laki-laki kenapa tidak menjaga pacarmu dengan baik! Harusnya kamu yang lebih dewasa, lebih paham aturan mainnya! Jangan sembarangan memperlakukan wanita!"

"M-mas Jendra?"

Jendra menarik Alma menjauhi Nathan. "Dek, kakakmu tidur di mobil. Mau Mas bawa turun tapi Mas make sure dulu tadi. Apa di sini ada kamar yang bisa dipakai Maura untuk istirahat."

"Ada Mas, ada. Biar tidur di kamarku aja. Bentar ya. Ayah sama Bunda lagi di rumah temenku, Nuansa."

Alma sangat bersemangat. Ia ingin menyambut sang kakak dengan sebaik mungkin. Memperbaiki kesalahpahaman yang sempat terjadi.

Sementara itu, Nathan menatap tajam pada Jendra.

"Saya tidak akan membiarkan adik saya kamu bodohi seperti itu."

Nathan terkekeh. "Alma punya saya. Tidak akan ada yang bisa mengusik kami. Apalagi mengatur-ngatur saya."

Obrolan sengit itu berakhir saat Alma keluar dari kamarnya dan mengabarkan jika kamarnya sudah siap huni.

"Mas, udah. Bawa kakak masuk. Aku mau nyapa ponakanku juga!"

Alma begitu antusias. Jendra gemas dengan tingkah iparnya. Ia mengusap puncak kepala Alma.

"Iya, iya. Sabar ya. Anak bayi, udah mau jadi tante aja." Jendra menggoda iparnya. Alma meringis, merespon sang ipar.

Nathan berdecih. Ia benar-benar tidak suka dengan Jendra. Siapa dia berani melarang-larang Alma?

"Koh, kenapa cemberut?"

"Itu orang. Mantunya ayahmu. Ngajak gelut."

Alma terkekeh. "Ya wajar kan, kalian belum saling kenal. Lagian, menurutku apa yang dilakuin Mas Jendra adalah hal sewajarnya yang dilakukan kakak ke adiknya."

"Aku kan juga kakakmu!" Nathan tak terima.

Alma terbahak, baru kali ini ia melihat Nathan marah. Sangat lucu. Yang ditertawai tak terima. Ia merangkul Alma dan menggelitikinya.

"Koh! Ampun! Koko! Ampun!"

Nathan masih terus mengusili Alma sampai suara dehem Jendra terdengar. Pria yang tengah membopong istrinya itu membuat wanita yang terlelap di pelukannya terbangun.

"Sayang, kenapa?" tanyanya dengan suara parau.

"Adek, temani kakak dulu ya? Mas mau bicara sama pacarmu."

Maura menolehkan kepala. Ia melihat sosok yang begitu mirip dengannya berdiri di sana.

"Adek!" Pekikannya terdengar seperti teriakan.

"Dalem, Kak."

Jendra menurunkan istrinya. Dua putri Salman itu saling berpelukan. Sementara Jendra memberi kode Nathan agar mengikutinya keluar tetapi si pemuda sipit tak mengindahkannya.

"Aku ke kampus dulu. Bilang Bunda ya nanti kuenya udah diterima Pak Eijaz dengan baik."

Alma mengangguk. Ia mencium tangan kakak tirinya.

"Hai, Maura ya? Kenalin, aku Nathan Delvin. Dosen pembimbing sekaligus Ayanknya Alma."

"Koko ih!"

Maura tertawa melihat gerak-gerik keduanya. Sang adik terlihat begitu nyaman bersama Nathan.

"Wah, wah, keren dong, dibimbing sama ayank. Nilainya bagus terus dong. Pintet juga kamu Dek."

"Nggak gitu juga kali Kak. Dia ngadi-ngadi. Kami itu kakak adekan. Mana ada ayank-ayank."

Rumah bergaya nyentrik milik Salman mendadak panas dingin.

"Memangnya etis kalau dosen memacari mahasiswinya? Patut dipertanyakan kredibilitasnya."

Sindiran tajam Jendra menusuk telinga Nathan.

"Tidak etis juga jika dua orang asing yang bahkan belum saling berkenalan tetapi sudah saling tuduh. Koko berangkat dulu ya, Cantik."

"Ih ih, kalian ini kenapa sih? Udah deh, aku lurusin dulu. Kakak, Mas, ini Koko. Koko itu kakakku juga, kakak kita. Dia anak dari Bunda Laura. Kebetulan Koko ini dosen pembimbingku. Gitu." Alma tak  mau ada kesalahpahaman.

"Koh, ini Kak Maura, kakak kandungku dan adik tirimu. Dan itu Mas Jendra, suami Kak Maura. Ipar kita. Oke? Jelas semua?" lanjut Alma.

Maura mengangguk-angguk. "Oh gitu. Tapi, tapi, boleh kok nikah sama saudara tiri beda ayah beda ibu. Sah kok."

Nathan terkekeh. "Terima kasih dukungannya Dek Maura. Angkat aku jadi iparmu, biar warisannya nggak kemana-mana," candanya.

"Idih, ngarep aja!" Alma tak terima.

Jendra berdehem. "Mas bisa kenalin kamu ke orang-orang yang lebih solih. Temen Mas mondok dulu."

"Ih, Mas, aku masih mau fokus kuliah. Nggak mau mikir jodoh dulu. Eh iya, Kak, ayo duduk. Bunda punya banyak stok eskrim. Sama cemilan juga banyak. Yuk."

Nathan yang tak mau ribut lebih panjang memilih untuk segera pergim

Nggak beres tuh orang. Sok asik banget sama Alma. Dih. Awas aja lu, gue kerjain tar.

🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀

Hai semuaaaaaa

Lagi nggak?

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang