Bab 41. Gesekan

209 18 1
                                    


Suara Zulfikar dan Kalandra yang saling mengobrol di dalam mobil terdengar. Mereka memang bersahabat dulu sejak MI hingga lulus MTS. Namun, ketika masa Aliyah, Zulfikar pindah mengikuti ayahnya.

"Kangen banget loh sama Solo. Udah berubah ya. Nggak kayak jaman dulu."

Nuansa tak tertarik sama sekali mengikuti obrolan yang terjalin. Ia bahkan memasang maskernya, sengaja menutupi sebagian wajah agar netra Zulfikar yang tertangkap mata tengah menatapnya lewat spion tak menjelajah seenaknya.

"Nu, kamu sakit?" tanya Zulfikar pada akhirnya.

Nuansa menggeleng tanpa bersuara.

"Kemarin dia sempet sakit. Kebanyakan kegiatan." Kalandra mewakili.

Zulfikar menoleh ke belakang. "Kamu jangan capek-capek. Aku nggak mau calon istriku sakit. Aku butuh kamu, Nu."

Kalandra berdehem sebelum terkekeh. "Heh, bener sih udah dikhitbah tapi belum sah. Tahan dulu, Brother. Bentar lagi."

"Tiga bulan lama," keluh Zulfikar.

Kali ini, Nuansa baru terpancing. "Tiga bulan? Apanya?"

"Pernikahan kita. Tiga bulan lagi. Pas Ramadhan."

"Ha? Bukannya dua tahun lagi? Mana ada tiga bulan?! Jangan bercanda."

Nada bicara Nuansa berbeda dari biasanya. Zulfikar mulai menyadari itu. Calon istrinya yang polos dan lemah lembut, perlahan berubah.

Kalandra tak terlalu fokus karena ia tengah berkonsentrasi memarkirkan mobil. Nuansa segera keluar tanpa basa-basi.

"Zul, kamu duluan. Aku mau cek santri piket di sana."

Kesempatan itu jelas tak disiakan Zulfikar untuk berbicara dengan Nuansa.

"Nuansa!"

Nuansa tak menoleh. Zulfikar mengejarnya dan menahan tangan Nuansa. "Jangan sentuh saya!"

Tepisan Nuansa begitu keras hingga membuat Zulfikar meringis.

"Kamu kenapa jadi liar begitu? Ini pasti karena dua temanmu yang tidak tahu adab itu kan? Kenapa sih kamu harus berteman dengan mereka? Kamu harusnya belajar dari Ning May, bagaimana cara memilih kawan yang baik. Yang satu kufu denganmu. Kamu bukan orang sembarangan dan tidak seharusnya bergaul dengan orang-orang kotor."

Nuansa menatap nyalang pada Zulfikar. "Jangan pernah mengejek teman saya."

"Istigfar, Nuan. Istigfar. Aku itu nyadarin kamu. Kenapa kamu marah? Merek hanya temanmu. Dan aku calon suamimu. Kamu harusnya paham mana yang harus kamu taati dan mana yang tidak."

"Calon. Gus Zulfikar hanya calon saya. Belum menjadi suami. Belum ada ijab dan qobul terucap. Siapa tahu, pada akhirnya yang tertulis bersanding di Lauhul Mahfudz bukan nama kita berdua."

Zulfikar mengembus napas. "Nuansa, kamu masih marah karena kabar burung tempo hari soal masa laluku? Hm?"

Nuansa menggeleng. "Maaf, aku masuk duluan."

Zulfikar yang melihat gelagat Nuansa malah terkekeh. "Kamu cemburu sama aku dan Ning Umaysa Ibrahim sepupumu?"

"Aku nggak peduli. Bukan urusanku juga."

Nuansa mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam rumah utama milik sang ayah. Ada beberapa orang menyambutnya, salah satunya adalah ibu dari Zulfikar yang begitu mendamba dirinya menjadi bagian dari keluarga Al Habsyi.

"Masyaallah, anakku cantiknya. Dari mana tadi? Ummah kangen loh. Bang Fikar mana?"

Uluk salam Zulfikar terdengar. Pemuda itu segera duduk di dekat ayahnya.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang