Bab 47. Sah?

238 16 2
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Laura Delvina binti Arinto Wahab dengan mas kawin tersebut tunai."

"Bagaimana saksi?"

"SAH!"

Teriakan keras terdengar dari beberapa anggota Salman dan keluarga dekat yang diundang sebagai saksi terdengar sangat keras.

Doa-doa dan ucapan selamat terucap setelahnya. Sejoli itu saling menyematkan cincin satu sama lain sebelum Salman menerima salam pertama dari Laura yang sudah sah menjadi istrinya.

"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih."

Satu tangan Salman ia letakkan di ubun-ubun sang istri. Penuh harap ia berdoa jika pernikahan keduanya ini membawa barakah dalam kehidupannya.

Laura tak sanggup menahan haru.

"Sayang, kenapa? Nyesel?"

Salman masih sempat bercanda. Laura pun memukul dada suaminya pelan. Salman terkekeh dan memeluk istrinya.

"Cieee ... Yang udah sah... Hmm yang lain ngontrak!"

Ledekan demi ledekan terdengar. Sementara itu Alma tak kuasa menahan harunya. Ia masih bergelayut pada sang kakak.

"Ih, adek kok malah nangis?"

"Iya, Dek. Kenapa nangis?" tanya Jendra dan Maura bergantian.

Alma menggeleng. "Aku bahagia."

Jendra dan Maura terkekeh.

"Aku ke belakang dulu, Kak bentar. Make up ku luntur," ucap Alma.

Ia memilih untuk melewatkan sesi foto bersama. Padahal Nathan sudah siap eksis bersama Poppy dan keluarga besarnya.

Dari kejauhan, Iqdam mengamati gerak-gerik putri atasannya. Ia mengikuti ke mana Alma pergi.

Gadis itu menangis di area hijau dekat toilet.

"Non?"

Iqdam memberanikan diri mendekat. Alma mendongak sebelum ia menangis lebih keras. "Abang," rengeknya di sela isak.

Pemuda itu akhirnya ikut duduk di bawah pohon mangga di mana Alma duduk.

"Kenapa?"

"Aku bahagia tapi aku sedih." Alma berbicara sembari terisak.

Iqdam merogoh saku baju batiknya. Ada sapu tangan yang selalu ia bawa di sana.

"Nona Salma ... harusnya Nona bahagia. Lihat, semua orang bahagia kan?"

"Iya, aku bahagia, tapi tadi ... aku inget mami...."

Suaranya tercekat. Alma memang tidak pernah diasuh ibunya sejak enam belas tahun lalu, tapi hatinya tetap mendamba kasih sayang sang ibu. Ia tetap punya mimpi untuk bisa melihat ibunya tersenyum bahagia.

Ia tetap berharap ibunya akan menjadi bagian dari hidupnya lagi. Meski sekarang ia punya ibu sambung.

"Aku bayangin mami... Kalau mami liat kami senyum bahagia di sini... Ada aku, ayah, kakak, mas Jendra, dan Bunda, tanpa dia. Pasti ... Pasti mami sedih."

Alma kembali menangis. "Aku sedih," isaknya.

Iqdam mengulurkan sapu tangannya. "Usap dulu sementara air matamu. Yakinlah kalau Allah akan mengabulkan doa-doamu setiap malam. Bu Bella pasti akan menemukan kebahagiaannya juga di luar sana."

Alma menatap Iqdam. Matanya bak anak kucing yang tengah mengharap belas kasihan sang majikan. "Bener?"

"Insyaallah. Selalu doakan beliau. Ya? Shaliha?"

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang