Bab 55. Rejeki?

183 21 2
                                        


Laura sempat pingsan karena kram di perutnya begitu luar biasa sakit. Ia tak dapat menahannya. Salman panik. Perasaannya semakin kalut.

Saat sampai di IGD para tenaga medis segera menangani Laura. Sejumlah pemeriksaan dilakukan.

"Yah, maaf kalau aku lancang. Tapi, apa yang bunda sampaikan tadi benar. Apa ayah tidak merasa berdosa jika menghilangkan nyawa darah daging ayah sendiri?"

"Dia belum empat bulan, belum ada ruhnya."

"Tapi sudah mulai berkembang Yah. Dia sudah jadi janin. Hasil ungakapan rasa cinta ayah dan bunda. Dia tidak berdosa. Bunda pun tak salah di sini. Kalau mau diurut, yang salah ya ayah. Kenapa ayah menjamah Bunda kalau tidak mau hal seperti ini terjadi?"

Ucapan Jendra membuat Salman tertohok.

"Yah, aku pun dulu pernah berpikiran sama dengan ayah. Ingin menggugurkan Jeno. Tapi, Maura bersikukuh. Wanita yang kita anggap lemah ternyata sekuat dan sehebat itu Yah. Mereka berani bertaruh nyawa demi melahirkan keturunan kita. Hasil perbuatan kita. Coba ayah bayangkan, jika hal itu terjadi pada kita? Belum tentu kita sebagai laki-laki sanggup bertaruh nyawa."

Salman mengusap wajahnya kasar. Istigfar terdengar dari bibirnya.

"Astagfirullahal 'adzim."

"Yah, kondisi kesehatan Bunda dan Maura itu berbeda. Mungkin memang benar jika Bunda sudah berkepala empat. Tapi tidak menutup kemungkinan jika Bunda akan melewati masa kehamilan dan persalinan nanti dengan lancar. Kita harus menjaga dan mendukung Bunda melewati masa-masa ini, Yah. Bukan malah menbuat Bunda down." Jendra mencoba memberi masukan pada mertuanya.

Alma dan Nathan yang ikut menyusul kini paham duduk perkaranya.

"Astagfirullah, jadi Ayah mau Bunda gugurin dedek bayi? Ya Allah, Ayah! Ayah kenapa bisa berpikiran kayak gitu! Alma benci sama ayah!" Alma begitu kecewa.

"Kalau sampai ada apa-apa sama dedek bayi. Alma nggak bakal lagi mau ngomong sama ayah! Alma benci ayah!"

Lagi, gadis itu mengeluarkan kekecewaannya. Jendra berusaha untuk menenangkan Alma. Nathan yang menggendong si kecil tak ikut bersuara. Ia kini lebih banyak diam.

Ia yakin ayah dan bundanya akan mendapatkan jalan terbaik dalam setiap masalah yang datang.

"Keluarga Ibu Laura Delvina."

Salman segera bergegas masuk ke tempat di mana Laura ditangani. Dokter yang memeriksa menjelaskan kondisi Laura pada Salman, sementara Laura hanya diam dan tak sudi menatap wajah suaminya.

"Intinya pastikan Ibu Laura jauh dari stres dan beban kerja yang berat ya, Pak. Insyaaallah kehamilannya akan dilalui dengan baik. Lancar hingga persalinan." Begitu hal yang diucap sang dokter sebelum pamit.

Salman kini hanya berdua dengan Laura. Ia berusaha meraih tangan sang istri tetapi Laura mengubah posisi tangannya. Wanita itu pura-pura tidur. Salman tahu, istrinya marah padanya.

Ia sempat berpikir beberapa saat sampai akhirnya ia menarik kursi dan duduk di samping ranjang Laura. Satu tangannya terulur di perut yang masih datar itu.

"Assalamualaikum, jagoan sholih. Ini ayah. Tolong sampaikan sama Bunda kalau ayah minta maaf. Ayah gelap mata. Ya, ayah terlalu bucin sama bunda sampai ayah tidak memikirkan kamu. Maafkan ayah ya? Sholih, ayah berharap kamu sehat selalu. Jangan buat bunda mual. Kasihan. Ya?"

Salman menciumi perut istrinya.

"Nggak usah deket-deket anakku! Sana pergi." Laura menjauhkan kepala Salman dari perutnya.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang