Bab 31. Siblings

153 17 0
                                    

Maura membuka matanya, ia mendapati sang suami sudah berada di sisinya.

"Sayang, adekku mana? Naura di mana?"

"Kak, udah nggak usah mikir yang lain. Adikmu itu childish banget, dia datang marah-marah karena cemburu, nggak sopan banget memang. Kebanyakan bergaul sama anak buah ayahmu. Kamu nggak usah pikirin dia."
Bella menginterupsi.

"Mi, aku mau ketemu Adek lagi. Aku belum sempat ngobrol sama dia."

Jendra memegang tangan sang istri. "Sayang, tenang dulu. Adek sama ayah tadi di depan, sama temennya. Nanti pasti ke sini lagi."

"Bener?" tanya Maura ragu.

Jendra mengangguk dan tersenyum. Dua orang petugas medis datang dan meminta Bella serta Jendra keluar selama pemeriksaan lanjutan dilakukan.

"Ini semua gara-gara Naura. Dia memang selalu jadi sumber masalah," gerutu Bella.

Mendengar ucapan sang mertua, Jendra mengernyitkan dahi.

"Maksud mami?"

"Dulu, waktu Maura masih ASI eksklusif, mami hamil Naura. Udah coba mami gugurin tapi nggak bisa. Dia tetep lahir. Dan saking besarnya dia, mami harus operasi caesar. Maura semakin nggak terurus. Mami yang harusnya bisa fokus ke Maura, mau tidak mau membagi kasih sayang dengan Naura. Mami ... Mami kesel sama Naura. Kenapa dia hadir tanpa direncana! Harusnya mami bisa fokus ngurus Maura, tapi anak itu datang tanpa diharapkan. Mami masih kesal sampai sekarang. Dan, sampai sekarang, Maura akhirnya yang tersiksa."

Jendra kali ini tak setuju pada pemikiran ibu mertuanya. "Mi, bukan salah adek juga kalau begitu. Adek ada kan karena mami dan ayah. Dan semua ini sudah takdirnya begitu."

Bella mendengkus. "Kamu nggak akan paham perasaan mami."

Dari lorong sebelah selatan, Salman mendekat. Wajahnya seperti ditekuk.

"Ayah? Adek mana Yah?" tanya Jendra.

"Dia sama temennya."

"Ngapain sih anakmu itu pakai datang ke sini? Liat, putriku jadi masuk rumah sakit lagi!" kesal Bella.

"Bel, Alma itu putri kita juga!" Salman mengingatkan.

Bella mau mendebat sang mantan suami, tetapi ia sadar, bukan tempat yang tepat untuk berdebat.

"Jen, kamu bisa belikan makanan buat Maura? Dia tadi baru makan dua suap. Sereal cokelat, tadi dia pengen itu," ucap Salman.

Jendra mengangguk. "Nggih, Yah. Titip Maura dulu. Saya keluar dulu."

Salman mengiyakan, sebelum berjalan masuk ke area observasi di mana sang putri di tangani. Sementara Bella masih duduk di ruang tunggu.

***

"Al, kakakmu sakit keras. Dia lagi hamil. Kata ayahmu, kondisinya udah ... ya gitu."

Queen mencoba menjelaskan. Alma yang tengah menikmati segarnya air putih dingin berlabel nama mini market itu terdiam sejenak.

"Harusnya ayah cerita."

"Ayahmu pasti punya banyak pertimbangan. Katanya Onty Laura juga udah tahu soal kondisi kakakmu. Mungkin mereka mau bikin surprize buat kamu pas mereka nikah. Tapi, ya kayak gini malahan jadinya, salah paham."

Alma menatap nanar jalanan yang ramai di depannya.

"Mending ayah nggak usah nikah sama Bunda. Biar dia balik sama mantan istrinya aja." Alma terlihat begitu benci.

"Ih kok gitu sih? Nggak rela gue Om Salman balikan ama nenek lampir itu. Sorry to say ya Al, gue nggak suka sama mama kandungmu. Lagian, bukannya Onty Laura lagi tekdung tralala ya? Gimana nasib adik bayimu kalau mereka batal nikah?"

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang