"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril mazkur haalan!"
Suara Egi lantang mengucap, sembari menggenggam tangan Kyai Ali Zainal. Di samping kanan kirinya, ada Kalandra, Salman, Ed, dan Jendra yang menjadi saksi.
"Saaaah!" teriak rekan-rekan lettingnya yang ikut datang menjadi saksi.
"Alhamdulillah, Barakallah."
Tidak main-main, suasan haru itu begitu terasa. Egi berhasil mengucapnya dengan bahasa Arab, sesuai adat dalam keluarga Nuansa meski sebenarnya sang mertua tak memaksa pemuda itu melakukannya. Namun, ia yakin dirinya bisa karena dulu ayahnya pun juga menggunakan bahasa Arab saat menghalalkan sang ibu.
Di dalam ruang ganti, Nuansa menyaksikan betapa gagahnya sang suami mengucap kalimat sakral yang menggetarkan Arsy. Mengucap sumpah di depan Tuhan mereka. Menandakan berpindahnya hak atas dirinya dari sang ayah ke pundak sang suami.
"Nduk, ayo."
Nuansa digandeng oleh sepupunya Ning Zunaira dan Ning Umaysa. Sementara itu, sang ibu menggendong adik bayinya yang baru berumur satu setengah bulan mengekor di belakang.
"Barakallah," ucap Umaysa.
"Kak, aku deg degan," cicit Nuansa.
"Kalau nggak deg-degan namanya meninggoy, Nunu," ucap Zunaira.
"Icun ih! Nggak boleh gitu. Ayo ayo buruan, udah ditungguin Pak Polisi di sana."
"Ning May, mau kayak Nunu juga nggak? Jadi bhayangkari.. Eaa..." Zunaira menyeletuk.
"Astagfirullah kamu ini. Mana boleh. Abahku dan kakak-kakakku bisa ceramah tujuh hari tujuh malam kalau aku kepikiran begitu. Bahaya. Tahu sendiri keluargaku sekolot apa?"
"Ish ish, Umaysa. Jangan gitu. Abah Kafaby sama Ummah Hana kan tidak kolot. Beliau hanya punya pakem sendiri. Punya syarat wajib yang harus dimiliki untuk calon menantunya."
Umaysa meringis. Putri bungsu Ustaz Kafaby Ibrahim dan Ustazah Hana Ibrahim itu meringis. "Iya sih, Bibi. Tapi ... Syaratnya ngadi-ngadi."
Obrolan terhenti saat tukang foto menghampiri mereka. Mengabadikan moment yang Nuansa keluar dari ruang pengantin wanita.
Egi sudah menunggunya. Denyut jantung pemuda itu tak beraturan menunggu sang ratu yang sudah sah menjadi miliknya.
Langkah demi selangkah, memangkas jarak Egi dan Nuansa.
Di depan para saksi, keluarga, dan tamu undangan, keduanya bertemu.
"Assalamualaikum, Yaa Zaujati."
Nuansa mendengar suara Egi menggelitiknya rungunya. "Wa alaikumussalam, Yaa Zauji."
Sorakan dari para undangan membahana. Egi sebenarnya salah tingkah tetapi ia berusaha menghapus seluruh manusia di sana dari pandangannya. Hanya satu makhluk yang ada dalam tatapnya.
Satu tangannya terulur dan disambut Nuansa.
"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih."
Satu doa terucap saat tangan Egi terulur menyentuh puncak kepala sang istri. Nuansa yang tadi begitu tenang, kini mulai merasakan haru, matanya berkaca-kaca.
Egi perlahan mengangkat dagu sang istri perlahan. "Kenapa kok malah mewek?"
"Mata Nuan berair... Mungkin sisi hati Nuan yang lain sedih karena jadi korban Hallo Dek." Nuansa menjawab sekenanya.
Egi dan beberapa orang yang mendengar tertawa. "Duh, istri polosku ketularan virus ngelawak nih."
"Mana nih tanda kepemilikannyaaaa! Sosor Brotheeeeeer! Halal brother!" Teriakan Lettingnya membuat Egi bereaksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksasmara
RomanceSetiap manusia pasti punya kisah asmara. Ada puluhan ribu kisah di luar sana. Kegagalan dalam satu hubungan, tak berarti penghakiman jika kita tak berhak bahagia. Setiap insan akan menjadi RATU dan RAJA dalam mahligai yang tepat. Kadang, kita harus...