Anak Ayah

570 28 2
                                    

Motor keluaran tahun delapan puluhan terpampang di parkiran fakultas ilmu budaya salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia.

Si empunya adalah laki-laki berusia menjelang lima puluh tahun yang tengah menunggu si putri bungsu selesai mengikuti kegiatan orientasi mahasiswa baru.

Jaket denim melekat di tubuh liat sang pria yang masih terjaga meski sudah tak lagi muda.

"Dek!"

Suara serak sang pria terdengar memanggil sosok cantik berkulit putih yang sejak lima belas tahun lalu ia asuh sendiri.

"Ih, Ayah kok pake motor itu. Kalau mogok di jalan gimana?"

Laki-laki berjambang itu terkekeh. "Ini motor keren di jamannya. Kamu sih lahirnya telat. Kalau kamu lahir seumuran sama ayah, pasti kamu bangga bisa dibonceng pake motor ini."

Alma mencebik. "Idih, ayah. Ya kalau kita seumuran namanya bukan ayah sama anak. Tapi bestie-an. Gimana sih," tukas sang putri.

Pria bernama Salman Al Hamid itu terbahak. Benar juga ucapan sang putri.

"Ini motor kesayangan ayah. Motor ini ayah beli pakai uang hasil jerih payah ayah sendiri, dulu."

"Iya, iya, motor kesayangan ayah yang ayah pakai sama cinta pertama ayah kan? Sama baby Ura? Sampai-sampai anaknya lahir dikasih nama mirip-mirip sama Baby Ura."

Laki-laki yang akrab disapa Sal itu terkekeh sembari mengulurkan helm pada sang putri.

"Udah ayo buruan. Mau mampir bakso apa nasi padang?"

"Sekali-sekali makan di restoran kek. Hobi kok kalau nggak makan bakso, makan nasi kucing, ya nasi padang."

"Astagfirullah, bawel banget sih kamu Dek. Jadi perempuan itu nggak boleh banyak protes. Ayah kayak gini karena ayah sedang mendidik kamu. Belum tentu nanti kamu dapet suami yang sudah matang ekonominya. Bisa jadi dia belum punya apa-apa. Cuma punya niat tulus, keimanan, dan tekad keras untuk bekerja menafkahimu dan anak-anak kalian. Jadi, kalau ayah biasa manjain kamu dengan uang dan fasilitas mewah, kalau nanti suamimu belum bisa memberikan hal yang sama, kamu pasti bakal nggak betah sama dia. Ujung-ujungnya naudzubillah, yang ada malah jadi nggak bagus."

Nasihat panjang sang ayah diangguki oleh Alma. Bukannya acuh, tetapi dia sudah hapal dengan nasihat itu karena setiap hari diulang oleh sang ayah.

"Ayah lagi curhat ya? Takut ya aku kayak mami? Nggak tahan sama ayah yang baru berjuang dan kabur bawa kakak terus ninggalin kita?"

Laki-laki itu tersenyum tipis. Ia meremas jemari sang putri yang melingkar di perutnya.

"Gimana nih? Mau makan apa? Steak? Pizza? Ayam?"

Alma terkikik dan menggeleng. "Enggak ah, makan bakso aja. Bakso mercon punya Bang Eza. Udah lama nggak ketemu Pakde, Bude, sama Abang Eza. Lagian kalau makan di situ nanti pasti gratis. Bude nggak akan mungut duit adik kesayangannya."

"Pinter banget anak ayah," tawa Sal terdengar.

Ayah dan anak itu memang selalu kompak. Sejak ditinggal sang istri lima belas tahun lalu, Salman selalu membawa Alma kemanapun ia pergi. Meski harus bertugas ke pedalaman sekalipun.

Tugasnya sebagai seorang anggota kepolisian kadang menuntut Salman harus berpindah-pindah tempat. Jika memungkinkan, ia akan membawa serta Alma. Tak jarang pula Alma ia titipkan pada juniornya di kantor atau istri para juniornya yang tinggal di asrama.

Perpisahan dengan sang istri yang lebih memilih laki-laki lain, sempat membuat hidupnya hancur. Namun, jiwa ksatria yang sudah mendarah daging di dalam dirinya jelas tak membuatnya sedih berkepanjangan.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang