Bab 13. Sunrise

201 20 7
                                    

Rumah semi permanen yang dipakai sebagai pos terselubung, digunakan Salman untuk menginap malam tadi.

Saat datang, salah satu anggota yang di tempatkan diam-diam di sana menyambut meski dengan keterkejutan karena Salman tak datang sendiri.

Selama ini, penduduk di sana mengira Salman adalah arsitek yang membantu membangunkan desa baru mereka.

"Ra, bangun. Mau liat sunrise nggak?" Salman mengetuk pintu kayu di kamar yang digunakan Laura beristirahat.

"Bentar, Mas. Aku lepas mukena dulu," ucap Laura dari dalam.

"Oke, aku tunggu di atas. Lewat tangga kayu yang di samping dapur, ya?"

"Iya, Mas," ucap Laura.

Wanita itu segera membereskan mukenanya dan menyapukan sedikit polesan skincare pagi dan make up tipis agar terlihat lebih fresh.

Aroma segar nan manis menguar dari tubuhnya. Pagi ini ia sudah mandi sebelum salat subuh, meski tak mengganti baju karena ia baru menggantinya semalam.

Perlahan ia menaiki tangga kayu di sana. Hingga ia mendapati sosok Salman sudah duduk manis di lantai kayu dari bagian atas rumah semi permanen yang mereka tempati.

"Duduk sini."

Laura menurut, ia duduk di samping sang sahabat.

"Cantik banget, Mas," ucap Laura saat menyadari langit yang tadinya gelap perlahan merekah indah, berubah cerah.

Salman melirik wanita di sampingnya. Tanpa sadar, Salman justru terpaku di titik berbeda.

"Mas, sunrisenya di sana, bukan di mukaku," sindir Laura.

Mendengar hal itu, Salman pun memalingkan wajah. "Emang siapa yang ngeliatin kamu. Matamu tuh belekan. Bibir lipstickan kok matanya belekan," ejek Salman.

Laura mendadak panik. "Ha? Serius? Aku udah mandi tahu. Udah cuci muka juga! Ih, sebelah mana? Mas, sebelah mana beleknya?"

Tangan Laura menarik Salman agar mendekat dan membantunya menghilangkan benda yang disebutkan Salman.

"Buruan tunjukin di mana!" titah Laura sembari mendekatkan wajah mereka.

Laura memejamkan mata. Wajah itu terlaku dekat dengan wajah Salman.

Salah langkah, sang pria mengerjai mantan kekasihnya. Sekarang justru ia yang setengah mati menahan diri untuk tidak merasakan gelanyar aneh yang menggelitik jiwa lelakinya.

"Mas, buruan!"

Laura membuka mata. Keduanya bertatap cukup lama.

"Kamu ngerjain aku ya?" selidiknya.

Salman meringis tanpa dosa, berusaha menepis gejolak di pikirannya.

"Ih, dasar nyebelin!"

Matahari semakin meninggi dan terlihat begitu indah.

"Mas cantik banget," ucap Laura sembari menunjuk ke arah timur.

Salman mengangguk. Ia menghidupkan ponsel yang semalam ia matikan. Ia abadikan moment itu di sana.

Dan, senyum kekaguman Laura pun ikut terekam dalam layar ponselnya.

"Habis ini aku mau keliling dulu, memastikan ketersediaan air, ladang garapan mereka, dan memastikan beberapa isu yang muncul lain. Kamu tunggu di sini ya. Nanti kita turun jam 10. Mau ke pantai dulu?"

"Pantai?"

Salman mengangguk. Ia menunjuk ke arah selatan.

"Tuh, di sana. Nggak jauh dari tempat kita semalem transit. Setelah itu kita pulang. Tapi, aku mampir dulu ke rumah sakit. Ada yang harus aku temui di sana."

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang