Bab 61. Karam? Berlayar?

178 17 1
                                    

Langkah Iqdam ke luar dari dalam rumah Salman sempat ia hentikan sejenak. Saat tiba di dekat gerbang, pemuda itu berbalik arah dan mendongakkan kepalanya.

Ia menatap satu ruang di sisi selatan di lantai dua. Jendela yang mengarah ke balkonnya belum tertutup. Si pemilik ruangan sepertinya tengah berusaha menutup jendela bermodel buka tutup ke arah luar tersebut. Namun, gagal.

Iqdam melirik pohon Mangga di dekatnya. Tanpa berpikir panjang ia memanjat pohon itu dan melompat ke arah balkon.

"Butuh bantuan?"

Jelas saja gadis yang baru berusaha menutup jendela itu terkejut melihat Iqdam yang sudah melompat ke arah balkonnya.

"Astagfirullah!"

Ekspresi Alma saat terkejut sangat-sangat natural. Iqdam sudah berusaha untuk tidak tertawa tetapi ia gagal.

"Ish! Random banget sih, ngapain ketawa? Bikin kaget aja."

Iqdam akhirnya berhenti tertawa, kemudian segera fokus pada engsel jendela yang sepertinya memang rusak.

"Non, ada gunting?" tanya Iqdam.

Alma yang masih menggendong Jeno segera mengambilkan benda yang diminta oleh Iqdam. Ia tak banyak tanya meski tak paham apa hubungan gunting dengan engsel jendelanya.

Ternyata Iqdam menggunakan ujung guntingnya untuk memutar baut yang longgar di sana. Begitu cekatan pemuda itu membenahi jendela Alma.

"Bang," panggil Alma.

Gadis itu terduduk di sebalik tembok.

"Dalem," jawab Iqdam sembari terus fokus pada pekerjaannya.

Alma tak langsung menjawab. Ia malah menangis tertahan.

"Aku butuh bantuan Abang buat memutuskan sesuatu," lirih Alma.

"Non, nangis? Kenapa Non? Ada yang bully? Ada yang ngelecehin Non? Ada yang kurang ajar? Ada yang jahat? Sebut siapa namanya, biar aku yang habisin, Non." Iqdam terlihat serius sembari merogoh saku dan mengulurkan sapu tangannya pada Alma.

"Ya, ada. Ada yang jahat. Namanya Salman Al Hamid. Dia memaksaku menikah dengan ayah Jeno. Suami almarhumah kakakku sendiri. Nggak ngasih aku pilihan lain. Aku ... Aku bingung harus apa. Aku sayang Jeno, tapi aku juga nggak bisa menghianati kakakku sendiri. Dan lagi, Mas Jendra sudah aku anggap sebagai kakak kandungku sendiri. Aku ... Aku nggak bisa nikah sama dia. Tapi, aku nggak punya pilihan lain. Aku sayang Jeno," isak Alma.

Bayi yang ada dalam gendongannya kini menggeliat karena kurang nyaman akibat Alma memeluknya terlalu keras.

Iqdam menatap Alma dan Jeno bergantian. Almanya sudah berubah. Si anak tomboy yang malas gerak itu kini berganti menjadi gadis keibuan.

Caranya menggendong Jeno, menatap Jeno penuh kasih, rasanya sulit untuk dipercaya Iqdam.

"Istikharah saja, Non. Kalau hal seperti itu, aku juga nggak paham. Kalau memang pada akhirnya Non berjodoh dengan Pak Jendra, ya sudah, itu memang rejeki Non. Toh, Pak Jendra juga solih, dekat dengan ayahnya Non, ganteng. Itu kan idaman, Non. Bisa menikah dengan orang yang dekat dengan Ndan Salman, kan?"

Alma mengusap air matanya. "Jadi, aku nggak berhak bahagia dan menentukan pilihanku sendiri?" tanyanya.

Iqdam tidak bisa berkata-kata. Jelas ia tidak setuju akan hal itu, tetapi bisa apa dia?

Alma beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sesuatu. Iqdam berekspresi aneh saat mengenali benda di tangan Alma.

"Bang, ini punya abang. Dulu Mas Jendra yang ngambil sesuai apa yang abang perintahkan. Dan sekarang karena abang kembali, ya aku kembalikan. Makasih ya udah bantuin."

Alma mendadak tersenyum saat mengulurkan buku catatan Iqdam.

"Abang harus tambahin di situ catetan, aku udah bisa ngurus bayi, ngerjain tugas sambil gendong, bisa bikin susu bayi, bisa kuliah sambil momong. Dan banyak lagi catetan lain."

Lelucon garing Alma tak membuat Iqdam tertawa. Tangannya hanya terulur menerima pemberian Alma. Buku catatannya kembali lagi.

"Sebelum aku jadi milik orang lain dan nggak butuh kawalanmu lagi, i wanna say thank you for everything. Terima kasih sudah nemenin aku, ngasuh aku, ngurus aku, jadi sandaranku, jadi kakakku, jadi temenku, jadi musuhku, jadi mentorku dan semuanya. Makasih udah datang di hidupku. Makasih udah menjadi pelindung, pengayom, dan pendamping terbaik yang pernah aku punya. Aku sempet takut nggak bisa bilang ini langsung waktu Abang sakit. Aku gila tiap hari ke rumah sakit ngeliat abang diem aja tanpa bisa ngerespon aku. Aku sempat berpikir apa jadinya aku tanpa kamu Bang. Aku yang terlihat mandiri nyatanya hanya bayi besar yang merepotkanmu. Aku yang terlihat kuat dan pemberani, nyatanya akan menangis dan berlindung di belakang tubuhmu setiap kali mati lampu. Seenggak berguna itu ternyata aku. Dan satu hal lagi, aku baru menyadari semuanya setelah kamu pergi. Aku sempat berpikir, andai waktu itu kamu nggak bangun lagi, aku bakal nyusul kamu entah dengan melompat dari gedung tinggi atau meledakkan pistol ayah di kepalaku sendiri, atau mungkin menenggak sesuatu yang bisa mem-"

"Astagfirullah, cukup! Salma Naura Kanaya! Jaga bicaramu. Cukup! Hentikan. Kenapa berpikir bodoh seperti itu?" Iqdam menatap tajam pada Alma.

Gadis tadi menatap kosong padanya.

"Karena aku nyesel baru sadar aku nggak bisa apa-apa tanpa kamu. Ketakutan akan kepergianmu bikin aku gila. Aku hancur. Kamu pergi dalam kondisi kritis dan kakakku pun pergi selamanya. Aku nggak punya sandaran lain."

Iqdam mengulurkan tangannya dari sela tralis mengusap pipi Alma yang banjir air mata. "Jangan pernah berbicara ngawur lagi. Selama aku masih bernapas. Aku nggak akan pergi dari hidupmu. Meski nanti aku dipindah tugaskan atau mungkin tak seratus persen bisa menjagamu, aku akan tetap memasang mata, memastikan kamu baik-baik saja. Kamu nggak usah takut."

Alma menatap Iqdam. "Abang, aku ... aku mau abang bawa aku kemanapun abang pergi. Aku takut sendirian di sini."

Untuk pertama kalinya Iqdam berani menatap langsung mata Alma.

"Kira-kira kalau Ndan Salman lihat aku di sini sekarang, apa yang beliau lakukan? Menembak kepalaku, melemparku dari balkon ini, atau menghajarku dulu sebelum membunuhku?" Iqdam bercanda.

"Memintamu bertanggung jawab karena sudah lancang menyentuh putriku tanpa ijin!"

Suara itu terdengar sangat keras. Alma dan Iqdam tidak sadar jika ada orang yang berdiri di ambang pintu. Dari posisi Iqdam berada, posisi pintu kamar Alma tidak terlihat karena terhalang rak buku.

Alma melangkah mundur. Ia juga terlalu bodoh untuk tidak menutup pintu dulu tadi.

"Iqdam Aziz, saya kecewa dengan tindakanmu. Bukan seperti ini harusnya. Kamu tahu harus bagaimana memperlakukan wanita jika kamu memang ingin memilikinya."

Salman menarik jendela dengan di depan Iqdam dan menutupnya.

Pemuda itu pun mundur beberapa langkah, sebelum ia akhirnya melompat turun dari balkon. Kecamuk memenuhi pikirannya.

Ya Allah, aku harus bagaimana.

✨✨✨✨✨✨✨


Well, ketahuan bapaknya.....

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang