Matahari mulai beranjak naik. Bella membuka matanya. Di luar tampak kemesraan sang putri dengan menantunya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Wanita itu baru bangun.
Setelah meregangkan tubuh, Bella pun turun, karena perutnya sudah berbunyi.
"Abang udah berangkat apa ya? Eh, tapi kan hari ini dia libur."
Monolog itu mengiringi langkah Bella saat menuruni tangga. Ia menatap ke arah pintu kamar yang tak tertutup milik Salman.
"Bang," panggil Bella.
"Abang!" Ulangnya lagi agak keras sembari masuk ke dalam kamar. Tidak ada siapapun di sana. Mungkinkah Salman sudah beraktivitas di luar? Pikir sang wanita.
"Mami udah bangun?"
Suara Maura terdengar. Langkah kaki dua orang yang baru saja memberi makan ikan di kolam samping beriringan masuk.
"Ayahmu hari ini libur kan? Cuti kan?"
Maura mengangguk. "Iya. Ayah cuti seminggu, Mi."
"Kemana dia? Lari-lari?"
Pertanyaan itu dijawab Jendra. "Ayah udah nggak tahan kangen sama Bunda, Mi. Jadi ayah pulang semalem."
Wanita yang masih mengenakan baju tidur itu mendadak memelototkan mata. "Apa?"
Jelas, wajahnya menunjukkan ekspresi tak suka. Bisa-bisanya, Salman pergi begitu saja. Dan siapa yang dimaksud Bunda?
"Bunda? Siapa?"
"Mami ih, ya Bunda. Bunda ya istrinya ayah. Bundaku sama Dek Alma, Mi." Maura menjawab santai.
"Kak, kamu bercanda kan?"
Maura terkikik. "Mana ada sih aku percaya, Mi. Aku kan memang punya ayah, bunda, dan mami."
Bella mendadak terbakar api tak kasat mata. Ia begitu kesal pada Salman yang seolah memberinya harapan, tetapi malah meninggalkannya.
Awas kamu, Bang. Kamu berani main api sama aku. Aku nggak bakal biarin Abang bahagia sama dia, siapapun orangnya, batin Bella.
****
"Astagfirullah," desah Salman tiba-tiba.
Laura yang ada di dekat sang pria mendadak panik. "Kenapa Mas?"
Salman menggeleng. "Nggak, perasaanku nggak enak, telingaku panas tiba-tiba."
Laura segera menengadahkan tangan dan mulutnya tak henti berkomat-kamit. Bukan kali ini saja Salman mendapati Laura seperti itu. Ia sering melihatnya, bahkan setiap malam saat keduanya kebetulan tidur di tempat yang sama, ia akan melihat Laura seperti itu setiap kali mengecek putra putri mereka tidur.
Serentetan doa dan ayat-ayat suci itu selalu menjadi tamengnya sehari-hari.
"Mas lupa zikir pagi tadi pasti? Hati-hati 'ain, Mas."
"Masyaaallah, Jumat lama banget sih! Astagfirullah!" Salman mengelus dadanya berusaha bersabar.
Laura tersenyum manis. "Udah nggak usah lebay. Fokus nyetir aja."
Salman mengangguki ucapan calon istrinya.
"Mas, nyekar dulu yuk?"
"Ke mana? Ke tempat papanya Nathan?"
Mendengar Salman berbicara tentang mendiang mantan suaminya, Laura tergelitik untuk mengamati ekspresi sang pria.
"Tenang. Aku nggak cemburu sama orang yang tinggal nama," ucap Salman santai.
Laura tersenyum penuh makna. "Makasih kalau kamu bisa ngerti posisiku," lirihnya.
Sulit memang, jika sudah bicara soal mantan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksasmara
RomanceSetiap manusia pasti punya kisah asmara. Ada puluhan ribu kisah di luar sana. Kegagalan dalam satu hubungan, tak berarti penghakiman jika kita tak berhak bahagia. Setiap insan akan menjadi RATU dan RAJA dalam mahligai yang tepat. Kadang, kita harus...