Bab 35. Jalan-Jalan Pagi

202 19 3
                                    

Azan subuh sepertinya belum berkumandang, tetapi tanda-tanda kehidupan mulai nampak di dapur rumah yang sudah beberapa tahun terakhir di tempati oleh Laura.

Salman membuka matanya pasca tertidur di sajadah bakda salat tahajud jam setengah tiga tadi.

Ia membuka pintu kamar perlahan, kemudian menuju ke sumber suara dimana letupan air mendidih terdengar. Semerbak harum rempah tercium.

Wanita yang tengah duduk di kursi dekat meja dapur tengah mengaji. Salman menatapnya lekat. Sampai akhirnya si wanita menyadari keberadaannya.

"Mas udah bangun? Gimana? Udah mendingan apa masih panas? Pusing nggak? Perlu ke dokter?"

Serentetan pertanyaan menyerangnya. Salman mengembus napas. "Ra, kenapa sih kamu, Alma, Maura, selalu kayak gitu. Gimana kalau nanya itu satu-satu? Bahkan seorang pelaku kriminal pun kalau sedang diinterogasi, ditanyanya satu-satu. Nggak langsung banyak begitu."

Laura terkikik. Ia menuangkan air panas yang baru mendidih itu ke teko sebelum mencampurnya dengan sesuatu yang ia sediakan di dalam cangkir.

"Minum dulu wedang uwuhnya, biar anget."

"Ini hari apa sih?"

"Kenapa? Mau puasa? Tapi ini hari Rabu." Laura mengernyitkan dahi sembari menatap calon suaminya.

Salman tersenyum dan menggeleng. "Oh, Rabu. Jumat masih lama ya?"

Mata Laura mengerjap-ngerjap. "Jumat tinggal besok lusa. Kenapa sih?"

"Lama Sayang, masih ada 50 jam lagi aku nunggunya."

"Nunggu apa?" tanya Laura bingung.

Salman mengembuskan napas. "Nunggu nikahin mantan pacarku pas SMP-SMA," tukasnya.

Kini Laura terdiam karena malu. Ternyata bukan hanya dirinya saja yang merasa jam berlalu begitu lama.

"Sabar dong. Mas aja belum fitting baju. Kemarin, aku ke tempatnya Nuansa, aku dapet banyak banget pesan dari Abah sama Uminya Nuansa tentang pernikahan. Dan dapet arahan juga dari mamanya Queen soal how to be a good ibu bhayangkari."

Salman tertawa. "Kayak gadis yang baru mau nikah aja."

Laura mengerucutkan bibir. "Dulu kan aku nikah terpaksa. Dan nggak bahagia. Sekarang, aku nikah dengan orang yang memang menjadi pilihanku sejak awal. Jadi aku harus belajar banyak. Aku ... Insecure, Mas."

"Ha? Insecure?" Salman bingung.

"Iya ... Kamu ganteng, gagah, keren, bijak, sholih, berpangkat, aset negara. Sedang aku? Cuma guru. Udah tua. Janda pula." Laura mendadak sedih.

"Siapa kamu berani ngatain istriku begitu? Dia itu wanita hebat. Mandiri. Cantik. Sempurna. Taat pada orang tuanya. Selalu tulus dan bersahaja. Justru aku yang tidak ada apa-apanya. Sejak dulu, keluarga kita bagai langit dan bumi. Tapi kamu? Kamu selalu bisa nerima aku apa adanya. Kamu juga yang mendukungku sampai bisa jadi taruna, meski nggak sempat kamu temenin aku pas dikukuhkan jadi perwira."

Salman meraih jemari Laura. "Ra, tolong, jangan buat imanku goyah. Aku nggak tahan liat matamu yang kayak kucing gemes gitu. Nggak bisa liat kamu sedih apalagi berkaca-kaca. Jangan siksa aku, tinggal dua hari, tolong."

Mendengar ucapan Salman, Laura malah tertawa. Ia tidak jadi mellow.

"Astagfirullah, Mas."

Azan subuh berkumandang.

"Aku mau jamaah subuh dulu. Mau mandi dulu sih bentar."

"Mandi sekarang? Ini, air panasnya, bentar aku siapin. Aku belum sempat manggil orang buat benerin water heaternya. Jadi, aku masak air buat mandi kamu sama anak-anak."

Mendengar hal itu, Salman semakin ingin menubruk wanita di hadapannya karena ledakan rasa yang membuncah di dada.

"Kamu gemes banget sih, Sayang. Masyaaallah, solihanya Mas Aman," puji Salman.

"Apaan sih, Mas. Bentar aku ambilin ember dulu."

"Udah, udah, biar aku aja. Makasih, calon istri."

Laura menepuk lengan Salman karena malu terus digoda. "Ya udah, aku siapin bajunya. Nanti ganti di kamar ya, aku taruh di atas ranjang ya."

Salman tak begitu menggubris Laura. Ia hanya mengiyakan saja karena sembari sibuk menuang air ke ember dan membawanya masuk ke kamar mandi.

"Mas, handuknya," ucap Laura saat Salman masuk ke dalam kamar mandi.

"Eh iya. Makasih, Sayang."

Laura tersenyum-senyum sendiri mendengar panggilan yang sudah belasan tahun tak ia dapatkan dari sosok Salman.

"Bun? Ngapain?"

"Eh... Udah pada bangun. Jamaah subuh yuk?"

"Ayah mana Bun?"

"Ayah mandi."

"Onty, punya susu nggak?" tanya Queen.

"Mau minum susu?"

"Mau bikinin Nuan, Onty. Dia lagi haid, kayaknya masih nyeri, biar agak reda gitu."

Laura tersenyum. "Duh, duh, perhatiannya sama calon ipar."

Queen membelalakkan mata. "Onty, jangan aneh-aneh deh."

Alma terkekeh. "Bun, cariin aku jodoh dong."

"Jodoh, jodoh. Selesaiin dulu kuliahmu," ucap Salman sembari keluar hanya dengan handuk.

Laura seketika menjerit. "Astagfirullah, Mas! Pake bajunya dong!"

Salman tersenyum sembari memakai kausnya.

"Anak-anak merem! Jangan ada yang melek! Ada Om-Om lewat!" Laura melanjutkan.

"Nggak rela banget bagi-bagi sama mereka? Hm?"

"Udah buruan sana!" Laura kembali menjerit.

"Posesif banget sih, Yank," goda Salman sembari masuk ke dalam kamar.

Pria itu agak terkejut saat mendapati baju koko dan sarung di atas ranjang.

"Sayang! Ini bajunya?" tanya Salman sembari melongokkan kepala.

Laura segera menyusul. "Iya, punyamu. Suka nggak?"

Salman tersenyum. "Ya Allah, aku loh belum beliin kamu apa-apa."

"Ups, maaf ya Pak. Saya bukan dedek gemes yang ngejar abdi negara buat minta dibiayai hidupnya. Saya, alhamdulillah, diberi jalan rejeki sendiri untuk bertahan hidup."

"Alhamdulillah, nggak repot bayarin skincare. Nafkah batin doang berarti ya?"

"Astagfirullah! Udah sana pake baju terus  ke masjid. Keburu iqomah!"

Salman pun segera menurut. "Siap, Ibu Komandan!"

Laura dan Salman saling tersipu dan terkekeh. Sementara itu para gadis di dapur mengelus dada.

"Kenapa orang tua kita bisa begitu bucin ya?" Alma menggumam.

"Iya. Sama aja, daddy sama mommyku juga gitu. Setelah daddy pensiun, anak-anaknya dewasa, mereka tuh kayak     balas dendam gitu. Kerjaannya berduaan mulu. Makan suap-suapan, duduk pangku-pangkuan. Dah lah, capek mataku tiap hari liat orang bucin." Queen pun curhat.

"Tapi dari pada mereka marahan ya lebih baik begitu kan? Cuma ya sedih banget, gigit jari banget nggak punya pasangan," sahut Alma.

Queen mengangguk. "Sedih ya, kita."

*****








SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang