Bab 40. Sisi Lain

167 19 3
                                    

Gadis berjilbab syar'i yang tengah mengayuh sepeda berkeranjang warna pink terlihat begitu semringah. Setiap wanita yang ia temui di jalan ia sapa dengan ramah.

Perjalanannya sore itu sedikit terganggu saat ponselnya menjerit-jerit.

"Assalamualaikum, Al, ada apa?"

"Wa alaikumsalam, Nu. Nanti malem boleh nggak aku nginep rumahmu?"

"Nginep? Boleh doooong! Asaaal, ayahmu kasih ijin. Nanti malem aman kok. Sekarang, aku kan tinggal di rumah samping. Kamarku aku hibahin ke calon dedekku. Jadi, kalau mau asik-asikan, bebas."

"Yes! Kakakku pulang, dia sama suaminya uwu-uwu di sini. Ayah sama bunda juga masih heboh nunggu hari H."

"Hmm oke-oke, nanti cerita lagi ya? Aku ada perlu dulu. Sebentar."

"Kemana sih? Kalau sore kenapa kamu ngilang sih, Nu?"

"Enggak kok, cuma ini aja, jalan-jalan. Daah Alma. Assalamualaikum!"

Nuansa menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Dia kembali mengayuh sepedanya, mendatangi gubuk kayu di pematang sawah tempat ia menghabiskan waktu tiap pagi dan sore.

"Assalamualaikum, Bapaak!"

Sosok laki-laki paruh baya bercaping tersenyum lebar.

"Wa alaikumussalaam warahmatullah."

"Pak, makan dulu. Nuan bawa serundeng sama dendeng kesukaan bapak. Kerupuk udang sama sambelnya juga ada."

Pria itu terlihat mencuci tangannya sebelum berjalan ke gubuk yang baru saja ia renovasi bulan lalu.

"Wah, wah. Bisa gemuk bapak tiap hari disetorin makanan begini. Kamu itu apa nggak repot, Nduk? Pagi, sebelum kuliah atau ngajar, mampir sini bawa sarapan. Sore pulang aktivitas juga mampir bawa makanan."

Nuansa terkikik. "Nuan ke sini mau mencuri ilmu. Tadi udah bilang kok sama Abah sama Umi."

Keduanya membicarakan tentang kurikulum terbaru yang dicanangkan pemerintah.

"Pak, kalau jadi guru jaman dulu, kenapa ya kelihatannya tuh terpandang gitu. Sampai di rumah pun tetap diberi sebutan embel-embel Pak Guru. Tapi, kalau jaman sekarang? Jadi guru kayak nggak ada harganya. Padahal, amanah yang diembannya itu semakin berat."

Pria tadi terkekeh mendengar pemikiran-pemikiran Nuansa. Pensiunan guru SD itu dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan Nuansa.

"Kalau menurut Bapak, sebenarnya semua sama saja. Guru-guru yang dihormati oleh muridnya adalah guru-guru yang menghormati dan menghargai muridnya. Begitu juga sebaliknya."

Nuansa kembali fokus setelah menyiapkan semua makanan yang ia bawa lengkap dengan minuman teh hangat yang ia bawa di botol minum penghangat.

"Tapi, memangnya ada guru yang tidak menghormati muridnya?"

Pria itu tersenyum. "Banyak, Nduk. Dan kebanyakan dari mereka tidak sadar akan hal itu. Mereka tanpa sadar menyakiti hati muridnya, mengecewakan hati muridnya, padahal harusnya mereka yang mengayomi, melindungi, mendidik para siswa."

"Ih, memang sih ada oknum yang kriminal, Pak. Tapi, kan nggak semua guru gitu. Paling satu dua yang kriminal, yang jutaan lainnya enggak."

Pria itu meneguk tehnya dulu sebelum kembali menjawab. "Menzolimi murid itu tak melulu dengan melakukan kejahatan fisik. Justru yang sering dilakukan adalah kejahatan verbal. Seperti membandingkan satu murid dengan murid yang lain. Menegur murid yang salah di depan kelas hingga membuatnya ditertawakan teman lain. Meremehkan murid meski dengan kata-kata 'begini saja tidak bisa' atau mungkin 'kok gini sih jawabannya? temenmu yang lain bisa kenapa kamu enggak sih?'. Hal-hal seperti itu sering dilakukan oleh guru dan mencederai hati murid-muridnya."

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang