Bab 18. Nuansa Elegi

207 24 1
                                    

Kakak beradik putra Kyai Ali Zainal itu duduk di balai samping rumah mereka. Kala tengah sibuk dengan rekap nilai murid-muridnya sedang Nuansa membantu sang kakak mengoreksi lembar kerja para santri.

"Mas, Dek, Ummi punya choco magma nih. Mau?"

Kala melongokkan kepala, melihat ke arah ibu tirinya yang datang membawa kue berbau harum legit

"Wow, cokelat lagi. Ummi lagi bercokelat-cokelat ya minggu-minggu ini."

Wanita itu tersenyum. "Iya lagi pengen ngolah cokelat. Tapi, belum makan udah eneg sendiri."

Nuansa mengambil nampan yang dibawa ibunya. Ia membantu sang ibu menyuguhkan makanan itu.

"Gimana, Mi, udah belum?" tanya Kala.

Nuansa yang tak paham melirik dua orang itu. "Udah apaan?" tanya Nuansa.

Wanita berjilbab syari itu duduk di antara si sulung dan si bungsu.
"Udah, Mas tapi nggak berani liatnya. Tapi ... Tapi beneran loh Mas, Ummi udah halangin Mas. Beneran."

Kala tertawa, sementara sang ibu sambung tertunduk malu.

"Ih, kenapa sih? Kok pada gitu sama Nuan. Nuan nggak diajakin ngobrol," protes Nuansa.

Melihat si bungsu cemberut, Ilma mendekati sang putri. "Eh, Ummi perhatiin sepulang dari rumah Alma tadi kok Adek jadi uring-uringan? Adek kenapa?*

Nuansa justru terkejut. Benarkah dirinya uring-uringan? Tapi, memang benar adanya. Ia merasa moodnya rusak.

Sampai sekarang, tak ada balasan dan respon dari Egi. Apakah dia masih marah? Padahal jika bertatap muka, Egi adalah orang yang ramah dan tak pernah habis kata untuk mengobrol dengan lawan bicaranya.

Biasanya, orang yang cerewet secara langsung pasti juga akan aktif dipercakapan teks. Namun, tidak berlaku sebaliknya. Yang lancar bicara diteks atau di percakapan online, saat bertemu langsung belum tentu lancar, karena mulutnya tak selincah jempolnya.

"Nu-nuan nggak apa-apa, kok. Cuma capek aja sih, Mi."

Kala beringsut turun dari serambi. "Eh, lupa, mau jemput Abah dulu. Sisain kuenya buat aku sama Abah ya. Awas ya Dek jangan dihabisin."

"Iya-iya, Mas ih suudzon aja bawaannya." Nuansa menjawab.

Ilma menatap putrinya sembari tersenyum. Kala mengambil kunci dan segera pergi menjemput sang ayah yang baru mengisi pengajian di masjid balai kota malam ini.

"Adek kenapa? Jujur sama Ummi." Ilma menatap lekat mata putri sambungnya.

Nuansa mengerucutkan bibir.

"Ummi ... Nuan bingung. Nuan bikin teman Nuan marah dan dia belum maafin Nuan. Nuan kepikiran terus."

"Hm? Siapa? Kok bisa gitu?"

"Nuan juga enggak tahu, si Kakaknya ternyata marah karena Nuan gangguin pas main gim. Terus dia diejekin bodoh-bodoh gitu sama temennya yang lain. Nuan udah chat tapi nggak dinales, Ummi."

Ilma mengusap kepala putrinya. "Coba sekarang adek telpon sana. Tabayyun."

"Nggak apa-apa ditelpon?"

"Ya nggak apa-apa dong. Kalau perlu adek datengin ke rumahnya."

Nuansa terlihat berpikir keras. "Tapi Nuan nggak tahu rumahnya, Mi."

"Ya udah, coba ditelepon dulu sana. Minta maaf, bilang kalau adek menyesal dan nggak akan mengulangi hal yang sama lagi. Ya?"

Nuansa mengangguk. Ia pun mengambil ponselnya.

"Nuan telpon dulu ya, Mi."

Ilma mengangguk. Dia memilih untuk masuk ke dalam rumah, menyiapkan minum untuk suaminya yang baru dijemput oleh si sulung.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang