Bab 26. Merindu

176 17 2
                                    

Tumpukan dokumen di atas meja, suara bising murid-murid yang berlarian ke sana ke mari saat jam istirahat, tak membuat wanita yang sedari tadi melirik ponselnya itu bersemangat.

Sejak kemarin, tidak ada kabar sama sekali dari laki-laki yang mulai kembali mengusik hidupnya itu. Salman hanya mengabari jika ijin dari kantor sudah turun dan artinya mereka bisa melanjutkan rencana dadakan untuk menghalalkan hubungan yang dulu sempat terajut meski kandas karena Laura dijodohkan dengan orang lain.

Wanita itu melirik kain yang baru saja ia dapatkan. Kain berwarna pink itu serta merta akan melabelinya, menjadi seorang istri abdi negara.

"Cie ... Yang mau nikah sama idaman cewek-cewek di luar sana."

Laura mendongak. "Hm.. Hm.. Kok gitu ya? Mana salamnya?"

Gadis yang baru saja masuk ke ruang kerja calon ibu tirinya itu meringis. "Bunda, aku tuh udah ketuk pintu, ucap salam. Tapi Bunda malah ngelamun. Kenapa? Kangen sama Ayank Aman?"

Laura mendadak tersipu. Ia mencubit pipi putri sambungnya pasca menerima salam takzim sang putri.

"Bisa aja ih. Persis kayak ayahmu. Suka usil dan nyeletukin hal-hal random gitu. Udah selesai kuliahnya?"

"Udah Bun. Tadi diorderin ojol sama Koh Nat Nat. Bun, tahu nggak sih, kalau di kampus tuh Koh Nat pura-pura nggak kenal aku. Nyebelin banget, Bun. Dan aku yang nyoba ngobrol biasa sama dia malah dicuekin. Alhasil, aku yang dikatain SKSD sama temen-temen dan katingku, Bun! Kesel nggak sih? Pengen deh bilang kalau dia kakakku! Tapi ... gimana... Kalau mereka tahu Koh Nat kakakku, dikiranya kami KKN ntar, kan dia dosbing-ku, Bun."

Serentetan cerita keluar dari bibir sang gadis. Laura terkekeh mendengar curhatan putri sambungnya.

"Ke Maxie makan es krim yuk?"

Ajakan Laura membuat Alma segera mengangguk. Siapa yang bisa menolak es krim di siang hari begitu panas?

"Mau sundae boba pake extra brown sugar lava ah," gumam Alma, seketika menentukan pilihan es krim yang akan ia nikmati nanti.

Laura menggunakan telpon antar ruangan, mengatakan jika hari ini ia ijin setengah hari pada rekan kerjanya yang lain. Meski yayasan ini miliknya, Laura selalu berusaha untuk profesional, bahkan untuk urusan jam masuk dan pulang.

"Bunda, aku nggak sabar nunggu dedek lahir. Bosen jadi anak tunggal," celetuk Alma.

Laura mengernyitkan dahi. "Dedek?"

"Iya, Dedek baru di perut Bunda. Seneng deh, aku sama Koko nanti bakal punya dedek bayi gemoy."

Laura terkekeh, ia merangkul pinggang putri sambungnya sembari menenteng tas di tangan kiri.

"Naura, Naura, ada-ada aja kamu ini. Bunda terlalu tua buat punya bayi lagi."

Alma menggeleng. "Enggak! Bunda masih muda. Masih pantes punya bayi. Dan tenang aja, nanti aku bakal jagain dedek kok. Kan Nuansa juga punya dedek. Umminya hamil juga loh."

"Tapi mama tiri Nuansa masih dua puluh tahun. Sedang Bunda? Empat puluh, Cantik."

"Nggak boleh gitu ih, Bun. Pokoknya aku yakin, Bunda pasti bisa kok melewati masa kehamilan dan persalinan dengan baik. Aku juga udah mulai banyak belajar soal cara mengurus dedek bayi."

Obrolan tersebut terus mengalir hingga ke kafe dengan menu utama es krim yang tengah digandrungi para anak muda.

"Bunda, mau pesen yang apa nih?"

"Manggo aja. Sama minta waffle juga ya. Nih, uangnya."

Alma menolak. "No, no. Ada kartu punya Om Salman. Tenang. Kita harus gunakan dengan sebaik mungkin karena Om Salman sudah melanggar batas telepon dua hari. Harus dikasih hukuman dengan ludesnya uang tabungannya," seloroh Alma.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang