Bab 24. Kesayangan Ayah

228 27 3
                                    

Pria berpakaian serba hitam yang baru saja selesai bertugas itu menyelinap masuk ke dalam ruang rawat milik sang putri.

"Sudah tidur ya?"

Salman berbisik pada sang menantu yang sudah kongkalingkong. Keduanya sengaja tidak memberi tahu pada Maura jika sang ayah akan datang.

Seminggu, rencananya Salman akan berada di Jogja. Dan selama bertugas di sana, ia akan menginap di rumah sang menantu.

"Sudah dari jam tujuh tadi. Besok pagi boleh pulang, Yah."

Binar wajah Jendra terlihat. Salman mengucap syukur.

"Sayang?"

Wanita di atas ranjang itu membuka matanya. Ia mencari keberadaan sang suami. Salman dan Jendra menoleh.

"Ayah?" Maura yang menyadari keberadaan sang ayah seketika duduk dan melompat turun dari ranjang.

"Astagfirullah, Nak! Jangan lari!"

Namun, Maura terlalu girang. Ia menubruk tubuh liat sang ayah. Perut buncitnya menghalangi pelukan hangat keduanya.

"Eh eh, cucu ayah nanti kegencet. Kamu ini hm!" gemas Salman pada si Sulung.

Keceriaan Maura membuat Jendra begitu bahagia. Semangat hidup sang istri kembali saat bertemu dengan ayah kandungnya.

"Ayah kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?"

Salman mengecup pipi sang putri sebelum menjawab. "Rencananya besok baru ke sini, tapi urusan ayah udah selesai tadi jadi ayah langsung ke sini."

Maura tidak mau melepas pelukan dari ayahnya. Salman memutuskan untuk membopong sang putri dan mengajaknya duduk di sofa bed. Jendra hanya bisa tersenyum melihat kehangatan ayah dan anak di sana.

Jemarinya mengetik sesuatu pada papan layar pasca mengambil gambar kebersamaan sang mertua dengan istrinya. 

[Ma, apa mama nggak pengen ke sini? Ada ayah juga di sini.]

Tidak lama, ponsel Jendra bergetar.

Mama

[Jendra, kamu nggak bohong kan? Itu beneran ayahnya Maura? Kamu nggak lagi kirim foto editan ke mama kan? Mama nggak percaya sama kamu. Kamu kan ahli IT. Siapa tahu kamu bohongin mama.]

CallmeJen

[Mama bisa cek di sini. Maura kangen mama. Mama kemarin cuma mampir sebentar, dia masih kangen. Seminggu ini, ayah nginep di rumah kami. Apa boleh Jendra minta ke mama, sebentar saja luangkan waktu untuk Maura. Kita tahu gimana kondisi Maura kan Ma? Jendra mohon. Sebentar saja, demi kebahagiaan Maura.]

Sebagai seorang suami yang teramat mencintai sang istri. Jendra tentu prihatin dengan kondisi bidadarinya yang melemah pasca mengandung. Semakin hari, semakin kepayahan ia bertahan.

Tubuhnya kurus kering, meski sudah berupaya mengonsumsi segala macam vitamin dan makanan demi perkembangan buah hatinya.

Jendra hanya punya satu cara, mengusahakan kebahagiaan sang istri sekuat yang ia bisa. Tidak ada hal lain yang Maura inginkan kecuali orang tuanya.

Itulah mengapa, Jendra semakin giat menghubungi kedua mertuanya. Meski mereka sudah berpisah selama dua puluh tahun. Jendra ingin, mempersatukan keduanya kembali. Setidaknya, mempertemukan mereka bak keluarga utuh. Bersama-sama menjalani hari demi kebahagiaan Maura.

"Sayang! Sayang!"

Panggilan Maura membuat lamunan Jendra buyar.

"Ya? Apa?" tanya Jendra.

Maura mengerucutkan bibir. "Tuh Yah, mantunya ayah. Sukanya kayak gitu kalau lagi fokus sama hape. Putri ayah dianggurin."

Jendra segera meletakkan ponselnya. Ia jelas saja takut jika sang mertua marah. Salman menatap menantunya tajam.

"Kamu berani nganggurin anak ayah? Hm?" tanya Salman pura-pura marah.

"Ma-maaf, Yah. Maaf."

Melihat suaminya ketakutan, Maura malah tiba-tiba menangis. "Ayah ih, jangan galak ke suamiku. Ayah ih jahat! Jendra yang udah nemenin aku selama ini. Jendra yang udah jagain aku selama aku ditinggal sendirian. Jendra yang mau nerima aku yang sakit-sakitan begini. Meski tahu sebentar lagi aku mungkin mati."

Salman dan Jendra jelas tidak suka mendengar ucapan tentang kematian.

"Maura! Cukup. Nggak boleh bilang gitu," tukas Jendra cepat.

Ia mendekati sang istri dan mengusap air mata di pipi Maura.

"Udah, makanya jangan suka drama ih. Tidur lagi sana, sama ayah. Besok kan kamu boleh pulang. Ayah mau di rumah kita selama seminggu ini."

"Serius?"

Salman mengangguk. Kali ini ia menepuk-nepuk bahu sang menantu. "Bener kata mantu kesayangan ayah ini. Ayah nginep di rumah kamu. Boleh ya?"

"Adek gimana, Yah?" tanya Maura.

"Jangan pikirin yang lain. Adekmu sudah ada Bundanya. Ada Kokonya juga di rumah. Ayah cuma milik kamu. Oke? Nanti kalau kamu sudah sehat, adikmu nggak sibuk, kita kumpul sama-sama."

Maura kini kembali senang. Akhirnya, ia bisa menghabiskan waktu bersama sang ayah.

"Yah, mama kemarin ke sini juga. Mama nanyain ayah juga."

"Mama?" Salman terdengar ragu.

Maura mengangguk. "Jendra bisa ngelacak di mana mama, dapet nomer hape mama dan kami berhubungan lagi. Kemarin mama datang. Mama udah jelasin semuanya. Aku nggak mau lagi mikir kejadian dulu Yah. Yang jelas aku cuma pengen anakku tahu kalau dia punya keluarga utuh. Ada papa, mama, kakek, nenek, om, tante, yang sayang sama dia. Biar dia nggak kenal sedihnya punya keluarga yang terpaksa berpisah kayak yang aku rasain sama adek dulu."

Mendengar ucapan sang putri, hati Salman seolah teriris. Ia merasa sangat bersalah. Dirinya sudah membuat luka yang begitu besar di hati kedua putrinya.

"Aku mau kita bisa berhubungan baik lagi Yah. Meski tidak harus bersama-sama tapi setidaknya kita kembali berkomunikasi. Musuh saja bisa menjadi kawan. Kenapa keluarga yang berpisah tidak mencoba untuk menjalin silaturahmi lagi?"

Jendra mengangguki ucapan sang istri. Sementara itu, Salman gamang.

Aku bahagia bertemu dengan putriku. Tapi, aku tidak siap bersapa kembali dengan wanita yang pernah menaruh luka begitu dalam di jiwaku, batin Salman.


✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨


Hai semuaaa

Apa kabar?

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang