Bab 6. Kekesalan Bunda

312 27 1
                                    

Langkah kaki yang menghentak-hentak membuat Nathan terusik. Entah kenapa sejak tadi ibunya berjalan dengan gaya seperti itu.

"Bun, kenapa sih?"

"Nggak apa-apa," jawab Laura singkat.

"Bunda lagi latihan baris berbaris? Lagi ngelatih polisi cilik?"

Laura mendadak ngegas.

"Nggak usah nyebut-nyebut polisi! Nyebelin banget sih!"

Nathan yang tengah mengunyah selada mendadak memicingkan mata. Ia menelan makanannya sebelum kembali bicara. 

"Bunda habis ketilang apa gimana?"

Laura menggeleng. Ia menuangkan olahan seafood yang baru saja ia panasi di piring saji dekat sang putra.

"Widih, enak banget nih. Makasih Bunda repot-repot masak makanan favorit anakmu."

Melihat binar mata Nathan yang bahagia mendadak Laura ingat sesuatu. Putranya juga sangat suka dengan olahan laut seperti itu.

"Kamu seneng makan kayak gini?" tanya Laura sembari menyendokkan nasi untuk sang putra.

Nathan mengangguk-angguk semangat. Ia sebenarnya sempat kesal tadi karena setelah sekian lama menunggu pesanan datang, ia malah ditinggal oleh Salman bertugas.

Dan berakhir pada dibungkusnya seluruh pesanan itu. Mana mungkin Laura bisa memakan seluruh makanan yang ia pesan sendirian. Namun, kini ia merasa senang, karena putranya begitu bahagia mendapat makan malam seafood kesukaannya.

"Bun, ada anak kos baru ya?"

Laura mengangguk sembari membantu sang putra meremukkan cangkang kepiting dengan alat penjepitnya.

"Iya, ada tiga orang. Mereka mahasiswa, nggak tahu sih mahasiswa mana. Cuman kalau pas nggak kuliah, mereka jualan cilok sama jual kopi keliling."

"Loh, bukannya kamarnya cuman tinggal satu yang kosong?"

Laura kembali mengangguk. "Iya, tapi mereka mau sekamar bertiga. Bunda kasian sama mereka sebenernya. Apa suruh mereka pindah ke kamar belakang aja ya? Jadi nggak di kosan tapi di sini."

"Eh, Bun. Tunggu dulu. Bunda kan belum kenal sama mereka. Kalau mereka bukan orang baik gimana? Kan bahaya kalau di sini. Kadang aku pulang telat. Kadang aku pulang ke rumah Oma. Kalau Bunda cuma sama mereka, bahaya dong."

Nathan jelas tidak setuju. Ia khawatir pada kondisi sang ibu. Terlebih, dunia yang digeluti ibunya tak murni seratus persen mengarah pada pendidikan.

Ada aksi saling senggol pula di sana. Persaingan antar yayasan, antar sekolah, juga mempengaruhi naiknya rasa rivalitas yang entah dari mana bisa berkobar hingga berhembus ke arah negatif.

"Ya udah deh, nanti Bunda pikir-pikir lagi. Lagian, gini-gini Bunda juga masih jago bela diri."

Nathan mengembus napas. "Iya sih, tapi bunda kan tetep aja cewek cantik yang bisa aja diincer sama cowok-cowok di luar sana."

Laura terbahak. "Mana ada cewek cantik. Bunda udah nenek-nenek, Sayangku. Kalau kamu menikah seusia Bunda dulu. Pasti cucu Bunda udah ada tujuh atau delapan sekarang."

"Mulai lagi deh. Aku harus nyelesaiin sekolahku dulu, Bun. Tolong jangan diburu-buru nikah. Mukaku juga masih cocok kok jadi anak SMA."

"Nathan, Nathan, apa salah ya dulu Bunda berdoa biar kamu nggak kayak daddy-mu. Sekarang terwujudnya malah begini," desah Laura.

Pemuda berdarah tionghoa itu tersenyum. "Baguslah, Bun. Karena doa Bunda aku nggak jadi buaya kayak Cedric Hwang. Nggak menyakiti hati banyak wanita."

"Daddy! Panggil dia Daddy. Nggak boleh sebut nama kayak gitu."

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang