Bab 51. Datang dan Pergi

184 20 4
                                    


Some weeks later....

Suasana duka masih terasa. Sepanjang waktu, Alma dan Jendra tak pernah terpisah pasca Maura dikebumikan. Terlebih ketika si kecil Jeno pada akhirnya mendapat tiket pulang spesial dari pamannya yang berani menjaminnya untuk pulang lebih cepat.

Dengan segala pertimbangan dan kerepotan luar biasa, Mahendra memfasilitasi keponakannya dengan tenaga medis khusus yang membantu merawatnya selama di rumah.

Namun, Jeno sekuat ibunya. Ia tidak serapuh bayi-bayi lain. Perkembangannya sangat cepat dan pesat. Berat badannya terus naik. Geraknya pun lincah. Hingga ia sudah diperbolehkan tidur di kasur istimewanya tanpa bantuan inkubator dan lain sebagainya.

Bayi itu menyusu dengan botol mungil yang khusus dibelikan untuknya.

"Duh, anak mama Maura, persis banget sih kayak mama. Suka banget minum susu ya," ucap sang nenek, Bella.

Meski mereka yang berkumpul di sana masih berduka, tetapi semua menggaris senyum untuk Jeno.

"Iya, Maura itu meski badannya kecil, hobinya minum susu. Pas balita, dia malah hampir nggak mau minum air putih. Kalau minum ya harus susu. Baru pas mulai sekolah dia mulai kenal air putih," imbuh Salman.

Laura pun menambahi. "Biar lah. Malah sehat. Liat, lahirnya 2,4 sekarang udah 3 kilo lebih loh. Duh. Mana panjang banget sekarang. Anak prematur mana yang segede ini?"

Semua tertawa. Si artis baru itu menyudahi kenyotan dotnya dan menggeliat.

Alma membenahi posisi keponakannya. "Alhamdulillah, kenyang ya Bos? Agak gini ya. Nanti gumoh kalau tiduran terus."

Perlahan ia mengubah posisi sang keponakan. Jendra membantunya. Ia belum berani menggendong sang putra, tetapi selalu membantu dan memperhatikan bagaimana cara mengurus bayi.

"Mas nggak mau mangku Jeno?" tanya Alma.

"Takut, Dek," jujur Jendra.

"Sini, biar Daddy aja yang gendong Al. Boleh nggak Jen?"

Sosok berkaos hijau army itu menawarkan diri. Ia memang begitu suka dengan anak-anak, meski di usia keempat puluhnya ia belum dikaruniai momongan. Bahkan, dikatai mandul oleh keluarga mantan istrinya dulu.

"Emang Mas bisa?"

"Bisa dong. Aku dulu sering ngurus ponakanku. Namanya Egi. Dia itu dari bayi kan seringnya malah sama aku. Uminya sering ngisi pengajian sana sini. Ngajar ngaji gitu. Terus aku yang nganterin. Kalau pas Uminya Egi tampil, aku yang ngurus Egi. Dari bayi. Pas sebelum aku berangkat pendidikan."

Benar ternyata, Ed sangat luwes menimang cucu istrinya. Ya. Istri. Ia, pagi tadi sudah sah tercatat sebagai suami Bella Rose Kanaya.

"Masyaaallah, gantengnya, sholih. Besok gede mau pakai seragam cokelat apa loreng nih?"

Tawa kembali terdengar.

"Apapun itu yang jelas harus sholih." Bella menyahut sembari membenahi letak baju cucunya.

"Masih pantes loh, Jeng. Nggak keliatan kalau cucu," celetuk Laura.

"Heh, bisa aja. Situ kali yang mau nambah." Bella membalas.

Ed terlihat mengulum senyum. Meski ia ingin memiliki buah hati, nyatanya ia tak bisa mendapatkannya selama sepuluh tahun berumahtangga dengan sang mantan istri.

"Siap-siap panen adek kamu, Dek." Jendra mengimbuhi, memancing tawa yang lain.

Bella menyadari sesuatu. Wajah ramah suaminya sedikit murung pasca membahas anak. Ia paham, pasti Ed tengah tidak pede dengan kekutangannya.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang