Bab 68. CEK COK....

216 21 10
                                    

Hari berganti hari dengan cepat. Alma dan Nuansa harus menyelesaikan serangkaian proses memenuhi kelengkapan administrasi dan hal-hal lain untuk pernikahan mereka, yang cukup panjang jalannya.

Queen hanya sesekali mereka hubungi via suara saja. Meski begitu Queen dengan senang hati memberikan hadiah pada dua sahabatnya. Sejumlah uang ia gelontorkan untuk membayar souvenir di pernikahan Alma, juga di pernikahan Nuansa.

Rencananya akad nikah dilangsungkan selang dua jam. Sementara pesta resepsinya dilangsungkan bersamaan karena Egi dan Iqdam kembali berdinas di tempat yang sama. Memudahkan rekan-rekannya untuk menyampaikan doa restu bagi keduanya.

"Abaaaaaaang! Ini kenapa bajunya belum dicoba ih," protes Alma.

"Kita itu nikah besok loooooh! Nggak lucu kalau baju abang kegedean."

Iqdam yang tengah sibuk dengan ponselnya menoleh. Wajahnya sedatar biasanya. "Sebentar. Berapa kali abang harus bilang kalau abang sedang kerja?"

Tidak ada sentakan, tidak ada nada tinggi. Namun, tatapan tajam Iqdam membuat Alma takut. Ia tahu jika calon suaminya tengah marah padanya karena terus rewel memaksa mencoba ini itu.

Alma adalah orang yang selalu overthinking pada hal-hal kecil. Ia takut acaranya tak berjalan lancar. Biasanya ada Nuansa dan Queen yang menenangkannya, tetapi kali ini dia harus menghadapi hari besarnya sendiri karena Nuansa pun juga tengah menjalani serangkaian acara di rumah keluarganya sebelum ijab qobul besok.

Kini, gadis itu memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia meletakkan jas dan kemeja milik Iqdam yang sudah diantarkan tailornya dua hari lalu.

Iqdam yang masih bertugas dan harus mengusut beberapa kasus, belum sempat pulang sama sekali. Baru sekarang ia bisa muncul. Dua bulan ia LDR dengan Alma, begitu juga Egi. Mereka sama-sama harus mengerjakan tugas di kota lain. Memburu seseorang, sesuai perintah Salman.

Alma hanya bisa menangis di atas ranjangnya. Kesal, sedih, takut, dan panik mendera.

"Adek?" panggil Iqdam saat menyadari calon istrinya menghilang.

Alma tak menjawab. Iqdam pun memilih untuk mengganti pakaiannya dulu dengan jas yang harus ia coba tanpa memakai dalaman kemejanya.

Lima menit kemudian, ia kembali ke dekat pintu kamar Alma.

"Dek. Adek sayangnya Bang Iqdam," panggil sang pemuda lembut.

"Abang nggak usah ke sini. Sana kerja aja. Aku ngantuk. Aku mau tidur."

Iqdam mengetuk pintu. "Dek, nggak mau liat abang pakai jas ini dulu? Hm? Katanya abang disuruh fitting?"

"Nggak perlu. Kalau Abang nggak niat, besok nggak usah dateng aja. Mungkin bener kata orang-orang. Abang mau sama aku gara-gara Ayah kan? Bentar lagi ayah purna tugas. Abang nggak perlu kayak gini kalau cuma demi pangkat. Cari aja anak jendral sekalian. Biar Abang bisa melejit pangkatnya. Cuma aku yang berharap sendiru, berjuang sendiri. Sekarang semua keliatan, kok. Abang cuma datang pas pengajuan, selebihnya masa bodoh. Mau aku jungkir balik, mau aku bingung, mau aku ambruk, abang nggak peduli. Ditanya ini itu jawabnya terserah. Diajak mikir konsep acara, baju, katering, dekor, dan lain-lain bilangnya terserah. Bang Egi aja nyempetin pulang, tapi abang? Abang ngilang. Bahkan abang nggak peduli aku dirawat inap seminggu kemarin."

Alma mengeluarkan uneg-unegnya.

"Sebelum semuanya terlambat, mending kita batalin aja semuanya."

Gadis itu melepas cincin pertunangannya dan membuka pintu kamar lalu melemparnya keluar. Iqdam terkejut dengan tindakan Alma. Ia memungut cincin itu.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang