Bab 39. Family

200 21 6
                                        

"Kak, dedeknya udah berapa bulan?"

"Enam lebih. Hampir tujuh. Kalau nggak salah sih. Soalnya dulu itu ketahuannya udah umur tiga - empat bulanan. Kayak udah nggak akurat gitu loh."

Alma melihat perut kakaknya berkedut-kedut.

"Gimana rasanya ada nyawa lain di badan kakak?" Gadis itu penasaran.

Maura tersenyum. "Seneng, takut, capek, tapi banyak bahagianya sih. Kayak nggak percaya aja gitu."

Jendra yang mendengar percakapan itu sontak tertawa. "Penasaran ya?"

Alma mengangguk. "Dek, kamu denger suaraku nggak? Kamu cewek apa cowok? Kamu gendut ya? Soalnya mamamu kecil, yang gede perutnya. Makanan mama kamu ambil semua ya?"

Maura tak henti tertawa mendengar celoteh adiknya. Baginya, tidak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding berkumpul dengan keluarga kandungnya. Terlalu lama ia tinggal sendiri. Dan kini, doanya terkabul, bersatu kembali dengan adik dan ayahnya, juga sang ibu meski dengan kondisi tak utuh lagi.

"Andai mami dulu nggak misahin kita, pasti kita bahagia banget," gumam Maura.

Alma yang tadinya menciumi perut sang kakak, kini mengubah posisi.

"Belum tentu. Kalau mami nggak pergi, kakak nggak akan ketemu sama Mas Jendra. Nggak akan ada si gemoy ini. Bisa jadi juga ayah dan mami sama-sama nggak bahagia."

Jendra menatap iparnya. "Duh, adik kecil pinter juga. Bener katamu. Semua takdir ini yang terbaik, meski tak selalu manis jalannnya."

Maura menyandarkan kepala pada sang suami. "Iya juga sih. Bisa apa aku tanpa kamu."

Alma mendekati kembali perut kakaknya, ia berbicara pelan. "Dedek, kamu sama onty aja ya. Kita merem, jangan liat papa mamamu, mereka bucin. Kita anak kecil nggak boleh ikut-ikutan."

Tingkah Alma membuat Jendra dan Maura terbahak. "Yank, adikmu loh gemes banget."

Wanita itu melihat binar di mata Jendra.
Seneng banget Jen, kamu sama adikku. Jarang-jarang kamu bisa cocok sama orang kayak gitu?

Lamunan Maura terhenti saat sebuah tendangan sang calon buah hati membuatnya tersentak.

"Aw!" pekiknya tertahan.

Alma mendadak takut karena merasa bersalah, apakah ia yang membuat sang kakak sakit?

"Kak? Kenapa?"

Maura mengelus perutnya. "Dia seneng ngobrol sama kamu makanya heboh. Nggak apa-apa, kok."

"Bener?"

"Jangan takut, ponakanmu memang lincah. Ya, jagoan? Bunda Alma takut nih."

"Onty aja, nggak mau panggil gitu-gitu. Aku masih muda," tukas Alma cepat.

Jendra terkekeh. Maura yang masih mencoba menenangkan sang jabang bayi ikut tersenyum. Obrolan kembali terjalin sampai dua orang dewasa yang ditunggu kedatangannya datang.

"Assalamualaikum, ada tamu kah?"

Suara Salman terdengar. Seragam cokelat dengan sepatu laras lengkap dengan cerentelan tanda kepangkatan menempel di sana. Di belakangnya, sosok cantik berbaju serba pink muncul.

"Wa alaikumussalam. Masyaaallah, cie cie, pak polisi sama ibu bhayangkari habis poto poto bareng." Alma menggoda.

"Ih apaan sih. Ya Allah anak cucu bunda dateeeng!" Laura memekik kegirangan.

Salman dan Laura segera menyapa putri dan calon cucu mereka. Tak lupa juga dengan sang menantu tentunya.

"Wah, wah, mumpung nih formasi lengkap, yuk foto. Aku yang fotoin."

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang