Bab 62. Naik Kapalku?

211 21 14
                                    

Salman menutup pintu kamarnya sebelum merebahkan diri di paha yang istri yang tengah mengaji sembari berselonjor di atas ranjang.

Salman menenggelamkan wajahnya di perut sang istri. Ada kedut-kedut terasa di wajah sang pria.

"Assalamualaikum anak ayah," bisiknya.

Anak yang hampir tak diinginkannya itu bergerak akitf membuat sang ibu menghentikan bacaannya karena merasa nyeri.

"Wa alaikumussalam ayah," jawab Laura mewakili sang anak.

Salman mengelus perut istrinya.

"Mas ngapain lagi? Kenapa Mas uring-uringan terus sama Alma?"

"Gimana aku nggak marah kalau dia lancang berhubungan dengan laki-laki."

Laura meletakkan mushafnya di meja. "Mas, coba pikir. Siapa yang membuat Alma dan Iqdam kenal? Siapa yang menyuruh Iqdam selalu ada di samping Alma? Siapa yang membuat keduanya tidak pernah berpisah selama beberapa tahun ini? Apa Alma yang minta? Apa Iqdam yang minta?"

Salman mengembus napas bak anak kecil yang tengah merajuk. "Terus, aku yang salah? Kan aku cuma nyuruh Iqdam untuk jaga Alma. Bukan untuk dibaperin atau dideketin."

Laura menyilangkan tangan di dada. Ia menatap tajam suaminya.

"Mas dulu juga, ditugasin almarhum papaku buat jagain aku kan? Tapi, kenapa Mas juga jatuh cinta ke aku? Mas ngajak aku jadian? Sampai setelah jadi janda akhirnya Mas nikahin aku? Coba Mas pikir sendiri. Dan kaitkan dengan posisi Alma juga Iqdam."

Salman masih bersikukuh. "Alma harus menikah dengan Jendra. Agar kita dan Jendra tetap terhubung. Jeno juga tidak akan jauh dari kita."

"Mas, Mas tega sama Alma? Mau dia menikah dengan orang yang tidak dia cintai? Dengan orang yang dipikirannya hanya ada Maura, kakak kandungnya sendiri! Menjadi ban serep kakaknya. Tersiksa seumur hidupnya! Mas sendiri tau kan rasanya harus menikah dengan orang yang tidak mas cinta? Meski sudah berusaha mencintai Bella, toh akhirnya Mas mengakui kalau Mas tidak bahagia. Mas mau putri kesayangan kita hidup sengsara seperti kita dulu?"

Salman seperti ditampar habis-habisan dengan kata-kata istrinya.

"Mas, aku paham, kamu paling berhak atas hidup putrimu. Tapi kebahagiaannya tetap yang nomor satu. Sudah cukup dia tersiksa, cukup dia terluka, dengan ketidak utuhan keluarga di masa kecilnya. Sekarang dia harus bahagia. Kita saja bahagia sekarang, kamu tega putrimu menangis terus seperti itu seumur hidupnya?"

Kini justru Salman yang menangis. Ia menyadari kekeliruannya.

"Sayang, tapi Iqdam tidak suka sama Alma. Itu yang bikin aku keukeuh jodohin Alma sama Jendra."

"Siapa bilang?"

"Iqdam sudah aku pancing tapi dia sendiri bilang dia menganggap Alma laki-laki."

Laura membulatkan matanya. "Ha?"

Salman seperti orang putus asa. Dirinya menangisi sang putri yang ditolak cintanya oleh sang bawahan.

****


Pagi ini, Nuansa dan keluarganya berkumpul di rumah sakit tempat Zulfikar dirawat. Ada Egi yang sengaja diajak Kalandra, juga Iqdam di sana.

"Gus Ali, Ning Ilma, saya mohon maaf atas segala kekacauan ini. Salah saya memang menyembunyikan semuanya. Anak-anak suami saya dari beberapa wanita yang ia nikahi dulu, memang sering mengganggu kami. Beberapa nekat menggunakan nama kami untuk berbuat dzolim. Maaf, maaf," isak ibu Zulfikar.

Pemuda yang terbaring di atas ranjang itu berusaha membuat ibunya tegar.

"Abah Ali, Umi Ilma, saya ... Saya minta maaf karena kerusuhan kemarin Ning Nuansa hampir terluka. Saya ... Saya malu dan sangat merasa bersalah. Saya, sadar, saya tidak pantas untuk menjadi bagian dari keluarga Abah dan Umi. Saya dan Ummah berencana pulang ke kampung Ummah. Kami, bukan lagi bagian dari keluarga Haidil. Dan, saya sudah membicarakannya dengan Ummah, tentang keputusan saya untuk mengembalikan Ning Nuansa pada Abah dan Umi. Saya, mundur. Saya batalkan niat saya meminang Ning Nuansa."

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang