Bab 22. Pengagum Rahasia

191 19 2
                                    

[Dear My Other half, Maura Kanaya. Pesan singkatmu, membuat hatiku tak menentu. Walau hanya sekedar kalimat yang seolah tak bermutu di mata orang lain tapi buatku makna di sana begitu dalam. Mohon maaf, aku selama ini lancang, diam-diam memperhatikanmu, mengikuti segala gerak-gerikmu, meski mungkin kamu tidak pernah tahu. Jangankan hanya membantu temanmu, memberikan nyawaaku saja, aku tak berpikir dua kali jika memang perlu. Untukmu, yang sudah mengalihkan duniaku sejak dulu. Aku memang tak semanis cokelat almond favoritmu atau selembut eskrim vanila tanpa topping kesukaanmu, tapi aku punya perasaan tulus suci yang aku peruntukkan bagimu. Apapun akan aku lakukan untuk bisa membuatmu bahagia. Aku berjanji pada Ayah Salman, untuk membahagiakanmu hingga kelak habus waktuku di dunia ini. Meski aku tidak sehebat Ayah Salman, tapi akan ku buktikan, jika aku bisa mengayomimu, menjagamu, memberikan penghidupan terbaik untuk keluarga kecil kita nanti.]

Pesan itu berulang kali dibaca oleh Alma.   Siapakah gerangan pengirimnya? Wait, bukan itu. Pertanyaan yang muncul adalah siapakah sosok asli dari tukang retas yang dipekerjakan sang ayah. Apakah mereka saling kenal sebelumnya?

Suara langkah kaki dari wanita yang pertama kalinya masuk ke dalam rumah unik Salman terdengar di rungu Alma hingga membuatnya menyudahi lamunan.

"Sayang? Cantik? Nak?" Tiga sebutan yang ditujukan Laura untuknya membuat Alma tersenyum girang.

"Bunda!"

Tanpa ba-bi-bu, gadis itu berlari keluar dari kamar dan memeluk sosok wanita yang akan dinikahi ayahnya.

"Bunda beneran dateng. Kirain bohongan."

Laura mengelus rambut calon anak sambungnya.

"Ya nggak mungkin dong kalau bunda bohong. Malem ini bunda mau nemenin kamu. Ayah mau tugas kan?"

Salman yang mengekor dari belakang hanya melihat saja gelagat dua wanita di depannya. Ia melihat begitu cerah binar mata sang putri saat bercengkrama dengan Laura. Sebuah hal yang dianggap wajar oleh Salman karena Alma hampir tidak pernah mendapat kasih sayang dari sosok ibu. Kini, impiannya memiliki ibu hampir terwujud.

"Bunda beneran mau tidur sini? Terus Pak Donat gimana?"

"Donat?"

Alma meringis. "Koh Nat, Koh Nathan." Gadis itu mengoreksi.

Laura tertawa mendengar panggilan lucu Alma untuk sang putra, Nathan.

"Biar dia nyusul ke sini kalau mau. Besok kalian ke kampus bareng-bareng, ya? Setelah anter bunda, kalian pergi ke kampus barengan."

Salman yang baru selesai melepas sepatu, kini membuka kaosnya. Laura segera mengalihkan pandangan dari tubuh berotot milik mantan kekasihnya.

Sang pria sadar jika Laura tersipu malu melihat tubuh setengah telanjangnya.

"Kayak nggak pernah liat aja," sindir Salman.

Laura salah tingkah. Alma mencoba menulikan rungu. Obrolan dewasa itu membuat otaknya tercemar. Terlebih ia mengira jika di rahim Laura kini tengah hadir calon adiknya.

"Bunda, bunda, istirahat dulu sini. Aku bikinin minum dulu."

Laura tersenyum, ia mengangguki saja ucapan sang putri. Alma menyuruhnya masuk ke kamar pribadi miliknya dan Laura menunggu di sana.

"Ra."

Panggilan itu membuat Laura menoleh. Matanya ternoda dengan sosok laki-laki berhanduk di ambang pintu. "Mas! Ngapain sih kayak gitu!"

"Minta tolong ambilin sarungku. Itu yang habis disetrika Alma." Salman menunjuk ke arah meja sang putri.

Laura segera berdiri dan mengambil benda yang dimaksud. Ia menyerahkan tanpa melihat ke arah Salman.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang