Bab 50. Masih Merah

211 20 4
                                    

Rumah duka masih dipadati para pelayat. Banyak karangan bunga dari rekan sejawat Salman, Bella, dan Laura. Semua berkumpul tanpa diminta, mendoakan sosok yang kini telah tiada.

"Cantik banget lo, Bu. Senyum gitu. Kayak orang tidur ya."

Kasak kusuk mengenai kondisi jenazah Maura terdengar di beberapa kumpulan para takziah.

Nuansa gelisah di sana. "Mi, kenapa sih malah pada ngomongin jenasahnya. Kan nggak boleh ngomongin gitu."

Wanita yang kini tengah mengandung lima bulan itu tersenyum. "Selama itu baik, sudahlah biarkan. Itu kesaksian mereka akan kebaikan almarhumah. Semoga bisa diambil hikmahnya. Almarhumah kan dengan ikhlas menerima sakitnya sejak sekian lama, ikhlas menjalani hidup yang sulit. Berjuang demi buah hatinya dan akhirnya meninggal pasca melahirkan. Bukankah sudah jelas, ini salah satu jalan yang disebut husnul khotimah?"

Nuansa pun mengangguk. Benar ucapan sang ibu.

Gadis yang sebenarnya ingin menemani sang sahabat itu memilih untuk duduk di luar karena di dalam masih banyak sekali keluarga Alma.

Netra Nuansa sekelebat menangkap bayangan seseorang. Orang yang sama dengan yang muncul sejak semalam. Berpakaian serba hitam dan terlihat menguntit Alma.

"Mi, aku ke sana dulu ya. Ng ... Mau cari Kak Queen. Umi sama Abah ya di sini."

Wanita itu mengangguk. "Hati-hati sayang, rame banget loh."

Nuansa mengangguk. Gadis bergamis itu segera mengikuti orang yang ia curigai ke arah gang di samping tempatnya menghilang.

Ia terus berjalan tanpa takut. Nuansa merasa ada yang tidak beres. Ia juga dengar tentang penyerangan yang terjadi pada keluarga Alma dan segala hal itu memicunya untuk berspekulasi jika orang tadi adalah salah satu penguntit yang akan membahayakan keluarga sahabatnya.

Orang itu hampir menaiki sebuah motor yang disembunyikan di kebun belakang gang rumah duka milik Laura, dan dengan cepat Nuansa berlari, mengambil kunci motor tersebut dari belakang.

"Kamu siapa? Kenapa dari semalam nguntit temenku?"

Orang itu tak menjawab. Nuansa menggunakan jurusnya menendang laki-laki yang sudah menaiki motor itu.

Karena tidak siap, jelas orang itu terjatuh berserta motornya.

"Awas ya kamu! Jangan pikir kamu bisa nyelakain temenku!"

Nuansa menyerangnya tanpa henti. Pria itu jelas menghindar tanpa melawan. Nuansa benar-benar kesal. Segala jurus yang ia bisa ia keluarkan. Ia ingin melepas masker sang pria.

Ide jitu keluar dari pikirannya. Ia menendang tulang kering sang pria hingga membuat pria itu bersimpuh dan dalam satu tarikan ia berhasil melepas penutup wajah pria itu.

Mata Nuansa mendadak membulat sempurna.

"Mas?"

Pria yang kesakitan karena dihajar Nuansa itu hanya bisa meringis. "Dek, kamu kok kuat banget sih sekarang?"

"Ups," ucap Nuansa sebelum membantu Egi berdiri.

"Habisnya, Mas kenapa mencurigakan gitu? Kenapa tiba-tiba muncul terus ngendap-ngendap gitu."

Egi kini berdiri. Ia sebenarnya ingin lari tadi, tetapi ternyata Nuansa bisa membuatnya terjatuh.

"Kamu sejak kapan belajar bela diri?"

"Sejak bodyguardku pergi. Aku harus bisa jaga diri. Dan kata Om Salman, kalau mau jadi Bhayangkari, harus kuat." Nuansa mengucapnya tanpa berpikir.

Egi menatap gadis itu. "Ha? Jadi Bhayangkari?"

Nuansa mendadak mengalihkan perhatian. "Ah, iya jawab dulu kenapa Mas kayak gini?"

Egi menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia mengajak Nuansa ke tempat yang lebih sepi.

"Dengar, jangan bilang siapapun kalau aku kembali ke sini. Aku sedang menyelidiki tentang siapa peneror Bro Man dan penyerang Iqdam. Ini tugas khusus. Jadi jangan bilang pada siapapun. Janji?"

Nuansa mengangguk. "Oke!"

Egi tersenyum. "Good girl."

"Maaf ya. Aku nggak tahu kalau tadi Mas. Nggak sakit kan?"

Egi terkekeh. "Lumayan sih. Awas ya kalau nanti ada yang cedera aku pasti minta pertanggungjawabanmu."

"Paling sakitnya nggak sesakit aku waktu ditolak sama Mas dulu. Impaslah ya. Mas udah bikin aku patah hati dan aku bikin mas patah tulang."

Nuansa mengucapnya begitu saja. Egi sontak menatap gadis itu.

"Dek, kamu jangan asal ngomong."

Nuansa mengembus napas sebelum mengusahakan senyum. "Harus dengan apa aku meyakinkan Mas kalau aku nggak bohong soal apa yang aku rasakan. Bahkan tadi, jika orang yang aku untit beneran penjahat dan aku mati di tangannya. Aku ikhlas. Setidaknya aku tidak harus menjadi munafik dengan menerima pinangan dari orang yang tidak aku inginkan."

"Nuansa Bening! Kamu bicara apa?"

"Aku bicara tentang kejujuran perasaanku. Aku jatuh cinta sama Mas. Aku berusaha menyerah tapi aku nggak bisa. Ah sudahlah, Mas lanjut aja kerjanya. Aku yang akan jagain Alma. Tenang. Kalau ada apa-apa aku yang akan jadi tamengnya." Nuansa tersenyum lebar sebelum melangkah pergi.

Egi berusaha menahan diri. Namun, ia gagal.

"Nuan!"

Satu sentakan tangan Egi berhasil membuat Nuansa membalik arah langkahnya. Tubuh mungil itu kini berada di dekapan Egi.

"Berjanjilah tidak akan melakukan hal bodoh dan aku janji akan berjuang denganmu. Berjuang untuk kita."

Kalimat itu terucap penuh keyakinan dari bibir Egi.

"Mas," ucap Nuansa sembari mendongakkan kepala.

"Tunggu di rumah. Aku akan datang memperjuangkanmu setelah tugas negaraku selesai. Tapi, jika aku pulang nama, tolong berjanjilah tetap teruskan hidupmu dengan bahagia meski kita tidak bersama."

Nuansa mengangguk. Untuk pertama kalinya ia mendengar degup jantung memburu dari Egi sedekat itu.

"Kembali ke sana dan tolong awasi Non Boss dan Nyonya. Mas pamit tugas dulu."

Nuansa mengangguk. "Kamu udah berani meluk aku dan aku bakal minta pertanggung jawabanmu!"

Egi terkekeh. "Kamu benar-benar tertular Mbak Queen sama Nona Boss. Gadis polosku jadi bar bar gini."

Nuansa terkikik. "Fii amanillah."

Egi mengangguk. Kini, ia mendapat suntikan energi dari kegilaan Nuansa.

Nuansa, kamu gila! Tapi ... Rasa-rasanya ini yang terbaik memang, batin Nuansa sembari berlari kembali ke arah rumah duka.

******

Hai semuaaaaa

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang