Bab 10. Perkara Tidur

251 26 2
                                    

Rasa pening bertahta di kepala Laura. Semalaman penuh ia tak bisa tidur. Ralat, sehari semalam. Rasanya tak tenang.

Meski jendela rumahnya sudah diperbaiki, penjagaan masih dilakukan dan tidak ada tanda-tanda teror kembali muncul, ia tetap tak bisa tidur.

"Mas, aku ikut!"

"Astagfirullah, aku itu mau kerja. Anakku aja nggak rewel di rumah. Kenapa kamu ngintilin aku terus?"

"Mas!" Laura meraih tangan Salman.

"Ura, aku harus pergi ke beberapa tempat dan baru pulang besok malam."

"Bodo amat, aku ikut!"

Salman mulai frustasi. "Laura Delvina, aku udah tempatkan anggota terbaikku di sana. Aku nggak pernah kasih penjagaan spesial pada siapapun sebelumnya dan kali ini aku meminta langsung untuk diberikan sedikit kelonggaran demi kamu, memanfaatkan jabatanku buat minta itu ke atasanku, demi kamu. Apa itu nggak cukup?"

"Aku maunya kamu. Bukan anggotamu. Aku nggak percaya sama orang lain. Nggak bisa. Aku nggak tenang, Mas." Laura menatap bak anak-anak meminta pada ayahnya untuk ikut bekerja.

Salman mengacak rambutnya. "Ra, aku anter kamu ke tempat Nathan. Oke?"

Laura menggeleng. Wanita itu kemudian masuk ke dalam mobil yang akan dinaiki oleh si pria dan duduk manis di sana.

"Bro, ajak saja kalau mau. Paling juga nanti di tengah jalan minta pulang." Salah satu anggota Salman menyarankan sembari tersenyum.

Pria itu akhirnya menyerah. Ia pun masuk ke mobil yang sama dengan yang Laura naiki.

"Oke, kalau kamu mau ikut. Tapi janji, jangan ngerengek pulang, jangan bilang kalau kamu takut, dan saat di lapangan nanti kamu harus patuh sama perintahku."

Laura mengangguk-angguk. Apapun itu dia tidak peduli. Yang jelas dia hanya ingin ikut dengan Salman, karena dirinya tak percaya siapapun kecuali pria itu dan putranya.

Kebetulan, malam ini, Nathan harus pulang larut karena mengikuti seminar di Malang, dan hal itu membuat Laura semakin menguatkan alasannya untuk ikut membuntuti Salman.

"Jalan, Dam," titah Salman pada ajudannya.

Mobil itu melaju dan Laura terlihat gembira. Akhirnya dia bisa mendapat ijin ikut dengan Salman.

"Namamu siapa?" tanya Laura pada Iqdam sembari menyenggol bahu pemuda itu dari belakang.

"Siap, saya? Saya Iqdam, Bu."

"Oh, umur berapa? Masih muda banget."

"Siap, saya dua puluh empat."

Salman menaikkan satu alisnya. "Nggak usah tanya-tanya. Katanya dua hari nggak tidur. Diem, tidur. Mumpung masih enak jalannya. Nanti kalau sampai pelosok, jangan harap bisa tidur."

Laura mengerucutkan bibir.

"Galak banget sih. Dam, ini om-om galak ya?"

"Siap, Bu. Bro Man tidak pernah galak. Bro Man selalu bercanda dengan kami-kami ini."

Salman melepas jaketnya. "Aku cuma galak sama yang ngeyel macem kamu itu."

Laura mendengkus. Ia kemudian melempar tatap ke arah jalanan. "Kita mau ke Jogja ya?"

"Hmm." Salman hanya bergumam sembari mengecek ponselnya, memastikan kabar putrinya dari Egi.

"Mas, inget nggak kita pernah keujanan naik motor pas kamu nganter aku buat ikut UM UGM? Terakhir kali kita motoran berdua."

Pertanyaan itu membuat Salman menghentikan aktivitasnya.

"Sebelum aku jahat ninggalin kamu dan nikah sama papa Nathan." Laura melanjutkan ucapannya tanpa melirik sedikitpun ke arah lawan bicaranya.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang