Bau khas rumah sakit tercium. Wanita yang tadi bergelut dengan kondisi tubuhnya yang lemah, kini mulai kembali bercahaya. Jemarinya menjelajah benda pipih di tangan yang baru ia ambil dari atas meja.
Netra yang tadi menunjukkan binar kini mendadak meredup. Ia menemukan foto postingan di sosial media sang putri.
Pedih, rasanya melihat senyum bahagia keluarga baru sang mantan suami terpampang di sana. Harusnya, dia yang duduk berbaju pink di sebelah gagahnya Salman, bukan Laura.
"Bella, administrasi sudah selesai. Kamu bisa pulang."
Ucapan pria berkaus hijau lumut itu tak diindahkan. Bella malah menangis memeluk lutut di atas ranjang. Ponselnya terjatuh.
Pria itu memungut ponsel sang wanita. Ia paham apa yang membuat Bella menangis.
"Oh, mantan Bhayangkari?" Ed berbasa-basi mengajak bercanda Bella tetapi tak mendapat sambutan.
"Wajar sih, auranya wanita ini lebih kalem. Lebih jinak dari kamu."
Mendengar ucapan Ed, Bella mendongak. "Bunuh aku, please."
Pria itu terkekeh. "Lemah. Pantes nggak kuat punya suami abdi negara."
Bella terisak pelan. Ia memeluk lutut, sembari menyembunyikan wajah di sana. Ed mengamati gerak-gerik wanita dihadapannya.
"Sekuat apapun fisik wanita, sekuat apapun keteguhan hatinya. Kalau dia berdiri sendiri sebagai karang pemecah ombak tanpa ada bantuan karang lain, pasti akan gagal fungsi. Akan terkikis dengan hantaman ombak yang datang dan perlahan si karang yang kuat itu hancur."
Bella mengucapkan lara hatinya dengan suara parau. "Aku memang perempuan brengsek, tolol, dan jahat. Aku memilih menikah dengan laki-laki pilihan orang tuaku, berharap kami bisa menjalankan mahligai dengan indah. Namun, nyatanya dia hanya menjadikanku pelampiasan karena Bhayangkari impiannya terlanjur menikah dengan orang lain. Aku menyandang seragam itu, aku yang menemani dia, aku yang mengabdikan diri padanya, tapi dia? Dia hanya menganggapku istri di atas kertas. Belum lagi, kondisi putriku yang divonis membawa genetik penyakit yang diturunkan oleh mendiang ibuku. Aku semakin hancur. Aku hanya lulusan SMA yang tak tau apa-apa tentang kehidupan. Yang bahkan untuk membeli pembalut saja aku harus menunggu uang pemberian suamiku, tanpa ada ijin untuk mengais rejeki sendiri. Dan di saat aku berjuang untuk putri sulungku, aku hamil lagi."
Cerita itu terhenti sejenak. Bella menatap nanar ponselnya. Terlihat foto kedua putrinya saat bayi menjadi kunci layar ponselnya.
"Aku ... Aku benci laki-laki itu. Dia tidak peduli denganku dan perkembangan putri kami. Dan aku gila sendiri. Bisa-bisanya dia menghamiliku di saat aku sedang berjuang untuk kesembuhan si Sulung. Alhasil, Maura harus berhenti ASI karena saat hamil aku tak mungkin menyusuinya. Aku sempat berpikir untuk menggugurkan putri keduaku. Tapi, dia terlalu kuat. Dia ... Tetap bertahan di rahimku, terlahir sangat sehat, dan kakaknya justru yang semakin tak berdaya. Aku ... Aku benci kenyataan itu. Aku benci pada Bang Salman yang seolah tak peduli akan masa depan mereka. Aku benci Bang Salman seolah menganggap enteng kondisi kesehatan Maura. Dan aku juga benci karena aku tidak bisa sepenuhnya mengurus si bungsu Alma."
Bella kini tersenyum getir. "Aku brengsek kan? Aku jahat kan? Aku ibu biadab kan? Membiarkan dua putriku terluka karena kebodohanku menerima perjodohan dengan ayah mereka. Aku ... Terpaksa pergi dengan Maura, berharap ada orang yang mau memberi kami belas kasih untuk perawatan kesehatan untuknya. Aku terpaksa meninggalkan putri bungsuku, yang seharusnya masih aku susui. Aku tinggalkan bersama ayahnya. Padahal, aku ingin membawa keduanya tapi jelas, waktu itu tidak mungkin."
Wanita itu menatap Ed yang tengah mengarah pandang juga padanya.
"Sekarang, mereka sudah bersatu bahagia. Bang Salman menikahi wanita yang memang sejak dulu ia inginkan, ia cintai. Dan dua putriku mendapatkan keluarga utuh mereka. Sedang ... aku, kembali menjadi sampah. Kenapa mereka harus melibatkanku dulu?"
Pertanyaan itu retoris. Jelas tak butuh jawaban.
"Aku mau mati aja," lirihnya.
Ed mengembus napas.
"Mereka sudah menikah?" tanya Ed.
Bella menunjukkan undangan yang tadi dikirimkan sang menantu padanya via pesan singkat.
"Jumat? Besok? Mereka menikah?"
Bella mengangguk.
"Di Solo? Hmm ... Kamu mau mati, kan? Udah bosen hidup, kan?"
Bella mengangguk. "Iya."
"Oke kalai gitu. Ayo keluar dari sini. Sebelum mati, kamu butuh sedikit bersenang-senang."
Bella mengusap air matanya. "Ayo? Ayo ke mana?"
"Ikut saja. Kamu masih jadi tawananku. Motorku juga rusak, siap-siap ganti rugi." Ed dengan santainya mengucapkan kalimat-kalimat itu.
Bella sudah seperti tak punya harapan hidup. Meski ia tak seratus persen ingin kembali pada Salman, ia kecewa pada kebahagiaan yang direguk Salman dan buah hatinya bersama Laura.
***
Dua pasangan yang tengah kasmaran, kini saling berbincang. Salman mengajak anak dan menantunya mengantar Laura pulang ke rumah. Mau bagaimanapun juga, mereka belum bisa satu rumah karena prosesi itu baru bisa terlaksana esok.
"Bun, dulu Bunda pas lahiran normal atau nggak?"
Obrolan terjalin selama perjalanan.
"Enggak, karena waktu itu selain bunda masih muda dan tidak teredukasi dengan baik perihal kehamilan dan melahirkan, ada beberapa kondisi yang mengharuskan Nathan lahir sebelum sembilan bulan. Akhirnya harus SC."
Maura menatap sang ibu tiri penuh makna.
"Jadi, apa tidak apa-apa kalau terpaksanya nggak bisa normal?"
Laura mengerti kegundahan hati sang putri sambung. "Nggak apa-apa. Yang penting dedek sama mamanya sehat semua."
Sementara itu bapak-bapak di depan tengah membicarakan tentang pekerjaan mereka begitu asyiknya.
"Eh iya, adek kenapa malah nginep di tempat temennya ya? Apa adek nggak suka kalau aku dateng?" tanya Maura.
"Eh, kok gitu. Memang Alma mau nginep? Nanti kita jemput aja. Dia mungkin segan sama Jendra. Kan dia paham batasan dengan iparnya. Mungkin dia pengen kalian nyaman di rumah, pakai kamarnya. Kan rumah ayah kecil, Nak. Kamar yang di luar belum diberesin. Soalnya sering dipake sama anak-anak itu, yang jaga Alma. Masih kek barak gitu," ujar Salman.
Maura mengangguk-angguk. "Aku pengen bobok sama adek," cicitnya.
Tiga orang lain terkekeh.
"Ya sudah nanti kita jemput adek. Aku tidur di luar aja, ya? Kamu tidur sama adek?" tawar Jendra.
Anggukan Maura yang penuh semangat membuat keceriaan kembali.
"Kalau bertiga, boleh nggak?" tanya Maura.
"Ha? Bertiga? Nggak boleh dong!" Jendra menyahut cepat.
"Iiiih! Bukan sama kamu, tapi aku, adek, sama Ayah! GR banget sih, siapa juga yang ngajakin kamu," cerocos Maura.
Jendra menggaruk tengkuk yang tak gatal, sementara Salman terkekeh.
"Bolehlah, wah seneng dong, nanti bobok sama dua bidadari ayah," celetuk Salman.
"Iya, mumpung ayah masih lajang. Kalau besok, ayah udah ada buntutnya yang baru. Duuuh, senengnya. Besok ada yang unboxing-an," ucap Maura tanpa merasa bersalah.
Jendra memelototkan mata, ia takut Salman dan Laura tersinggung.
"Ih, apaan sih." Laura mencubit pipi putrinya sementara Salman tersenyum-senyum salah tingkah.
Akhirnya, aku bisa merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya. Ya Allah, aku titip mami juga. Pastikan mami bahagia, seperti kami yang ada di sini, batin Maura.
🌀🌀🌀
Assalamualaikum
Sepotong dulu ya Temaaan
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksasmara
RomanceSetiap manusia pasti punya kisah asmara. Ada puluhan ribu kisah di luar sana. Kegagalan dalam satu hubungan, tak berarti penghakiman jika kita tak berhak bahagia. Setiap insan akan menjadi RATU dan RAJA dalam mahligai yang tepat. Kadang, kita harus...